Kematian adalah sesuatu yang pasti. Bisa jadi kematian adalah merupakan satu-satunya hal yang pasti dalam hidup manusia. Kita mungkin menjadi orang kaya, mungkin pula menjadi orang miskin. Kita mungkin berkeluarga, mungkin juga tidak. Kita mungkin jadi orang terkenal, mungkin pula sebaliknya.. Tetapi mati? Tiap kita pasti mengalaminya. Adakah kita menyadarinya? Rosul berkata kematian adalah ”penasehat” yang diam, kita sering mengabaikannya..
Waktu sekolah kita sering berpikir soal cita-cita dan harapan masa depan. Adakalanya setinggi bintang di langit. Kita ingin menjadi A atau B atau C atau apa saja yang mewakili kriteria “orang sukses” yang tak jauh dari materi, jabatan atau keluarga. . Kemudian dalam perjalanan mencapainya, ada saja hambatan yang datang menghadang sampai kita akhirnya menjadi seperti sekarang ini. Sebagian kita mungkin berhasil menghadapi atau terhindar dari banyak masalah, sebagian lagi kita banyak gagal melewati hambatan yang ada.. Namun kita tidak mungkin menghindar dari kematian. Karena itu, sudahkah kita mempersiapkan cita-cita A atau B atau C atau apa saja agar sukses saat kematian datang menghampiri..?
Orang yang sukses menghadapi kematian adalah mereka yang menutup hidupnya dengan indah (khusnulkhotimah). Yaitu orang yang menjalani hidup dengan konsisten dengan amal shaleh, orang yang selalu mendengar nasehat dari ”penasehat diamnya” tersebut sehingga dapat menjaga diri dari perbuatan dosa dan terbiasa melakukan istighfar dan evaluasi terhadap setiap tindakannya.
Mereka adalah orang yang senantiasa menjaga kakinya dari menyambangi tempat maksiat. Mereka tidak menggunakan mata, telinga, mulut, tangan untuk berbuat dosa. Karena itu, mereka tak ragu dan takut menghadapi kematian. Mereka selalu siap, kapan dan dimana pun berada.
Baik kita renungi bait-bait puisi “Renungan Indah” W. S. Rendra ini:
Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku, aku ingin lebih banyak harta, ingin lebih banyak mobil, lebih banyak rumah, lebih banyak popularitas, dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan.. Seolah semua derita adalah hukuman bagiku.
Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika: aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan nikmat dunia kerap menghampiriku..
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan Kekasih.. Kuminta Dia membalas perlakuan baikku”, dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku...
Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah
Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja..!”
Tanpa terasa 20 tahun sudah berlalu dari momen masa-masa kita SMA, beberapa kawan sudah “mendahului” secara ”cepat”, tapi akan lebih tidak terasa lagi 10 tahun saja kedepan. Mungkin beberapa lagi di antara kita akan ada yang ”menyusul”, dan saat itu kita mulai anggap secara ”normal”.
Teman-teman walaupun dengan seabrek kesuksesan dan keberhasilan kita tapi kalau sampai menjelang 40 ini kita masih saja tidak mengindahkan kematian, takut azab neraka tetapi tidak tertarik mendengar surga. Insaflah kita sudah jauh tertipu...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H