Mohon tunggu...
Pernah Duda
Pernah Duda Mohon Tunggu... Musisi - Penghibur

Ngomongin Budaya Populer. Yang santai-santai aja.

Selanjutnya

Tutup

Music

Kontroversi Lagu "APT" dari Rose BLACKPINK dan Bruno Mars: Dilarang di Korea

28 Oktober 2024   12:55 Diperbarui: 28 Oktober 2024   13:09 606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kolaborasi musik lintas negara antara Rose BLACKPINK dan Bruno Mars baru-baru ini menarik perhatian, tapi bukan hanya karena keunikannya atau suara harmonis kedua musisi. Lagu mereka yang bertajuk APT mendapatkan sorotan besar di Korea Selatan dengan munculnya larangan tertentu, terutama bagi pelajar. Di negara yang terkenal dengan ketatnya aturan terhadap konten-konten media dan hiburan, pelarangan ini menimbulkan perdebatan antara pemerintah, penggemar, serta masyarakat umum.

Namun, apa sebenarnya yang membuat lagu APT dianggap kontroversial hingga harus dilarang beredar di lingkungan pendidikan? Apakah ini hanya fenomena lokal di Korea, atau justru mencerminkan kekhawatiran yang lebih besar terkait pengaruh musik terhadap generasi muda?

Lagu APT karya Rose dan Bruno Mars pertama kali dirilis pada pertengahan 2024. Seperti kebanyakan lagu pop, APT membawa melodi yang enak didengar dan mudah diingat, dengan lirik yang singkat namun penuh makna. Meski begitu, rupanya lirik-lirik dalam APT dianggap terlalu "berani" dan penuh dengan pesan tersirat yang kontroversial bagi sebagian pihak di Korea. Kata "APT" dalam lagu ini memancing berbagai spekulasi terkait makna, beberapa menganggapnya sebagai singkatan dari istilah yang sensitif. Lirik yang dianggap menggoda dan video musiknya yang penuh warna justru diinterpretasikan sebagai sesuatu yang berpotensi merusak moral anak muda.

Andrea Wiwandhana, founder CLAV Digital, menyebut fenomena ini menarik karena menyoroti dampak persepsi budaya terhadap musik global. "Kejadian ini membuktikan bahwa konten yang diterima baik di satu negara, bisa menimbulkan reaksi yang berbeda di tempat lain. Masyarakat memang membentuk norma berdasarkan nilai-nilai lokal, yang tak selalu sesuai dengan tren global," ujarnya. Andrea juga menyoroti pentingnya bagi para musisi internasional untuk memahami budaya negara-negara lain, terutama yang memiliki tradisi ketat dalam memfilter konten.

Larangan ini ditetapkan oleh beberapa institusi pendidikan Korea dengan alasan mencegah efek buruk dari lagu-lagu yang dinilai terlalu sugestif atau memberikan pengaruh yang tidak baik bagi pelajar. Beberapa pihak berwenang bahkan menganggap lagu ini memiliki daya tarik yang dapat "membuat kecanduan," terutama bagi anak muda yang tengah berada pada masa pencarian jati diri dan mudah terpengaruh. Lagu ini diklaim "memiliki komposisi nada yang memengaruhi perasaan, membawa pendengarnya ke suasana tenang, tapi menggugah sisi emosional mereka secara berlebihan." Hal tersebut, menurut pandangan pihak sekolah, dapat mengganggu fokus belajar siswa dan memberi mereka rangsangan yang tidak sesuai untuk usia mereka.

Kementerian Pendidikan Korea Selatan, meskipun tidak mengeluarkan larangan nasional, mendukung tindakan beberapa sekolah yang memilih membatasi lagu-lagu tertentu di lingkungan pendidikan. Mereka menganggap ini sebagai upaya preventif dalam menjaga suasana sekolah yang sehat, di mana pelajar bisa fokus pada studi tanpa gangguan dari media yang terlalu provokatif.

Tentu saja, larangan ini langsung mengundang reaksi dari para penggemar Rose dan Bruno Mars. Di media sosial, penggemar dari berbagai negara menyuarakan ketidaksetujuan mereka. Mereka berpendapat bahwa seni adalah ruang ekspresi yang tidak seharusnya dibatasi oleh aturan yang kaku, apalagi jika tidak ada unsur yang benar-benar negatif dalam lirik maupun video musik tersebut. Mereka bahkan memulai gerakan daring dengan tagar #FreeAPT, yang bertujuan untuk mendukung kebebasan berekspresi bagi musisi serta hak pendengar untuk mengakses musik tanpa pembatasan.

Sementara itu, pihak label Rose dan Bruno Mars menanggapi situasi ini dengan netral dan mengedepankan dialog. Meski belum ada pernyataan resmi, mereka disebutkan telah berdiskusi dengan perwakilan industri di Korea Selatan untuk memahami lebih dalam alasan di balik pelarangan ini dan dampak yang ditimbulkan pada para penggemar.

Lagu APT bukanlah lagu pertama yang menghadapi pelarangan atau pembatasan di Korea Selatan. Negara ini sudah sering membatasi lagu-lagu yang dianggap tidak sesuai dengan norma atau kebijakan publik. Namun, dengan perkembangan media sosial dan meningkatnya pengaruh budaya K-Pop dan selebriti Korea, kebijakan-kebijakan semacam ini sering kali menjadi sorotan internasional. Banyak penggemar di luar negeri yang menyayangkan keputusan semacam ini, menganggapnya sebagai bentuk sensor yang terlalu berlebihan dan tidak sesuai dengan arus kebebasan berekspresi yang dianut sebagian besar negara maju.

Beberapa pengamat budaya berpendapat bahwa situasi ini justru dapat memengaruhi cara para musisi internasional memproduksi dan memasarkan karya mereka. Mengingat pasar Korea Selatan yang cukup besar, tidak jarang para musisi mulai memperhitungkan reaksi dari pemerintah atau lembaga di negara ini saat memproduksi lagu. Mereka berusaha mencari jalan tengah antara menjaga kebebasan artistik mereka, namun tetap tidak melanggar norma yang berlaku di pasar penting seperti Korea.

Kasus pelarangan APT menunjukkan bahwa dalam era globalisasi, di mana budaya dan musik dari seluruh dunia dapat diakses hanya dengan satu klik, perbedaan norma dan interpretasi budaya masih menjadi tantangan tersendiri. Apalagi, ketika musik adalah bentuk ekspresi seni yang terbuka untuk interpretasi, batas antara apresiasi dan ketidaksetujuan bisa sangat tipis. Seperti kata Andrea Wiwandhana, fenomena ini juga membuktikan pentingnya menghormati keunikan masing-masing budaya, namun tidak mengesampingkan kebutuhan untuk menyesuaikan diri dalam konteks yang berbeda.

Sementara itu, bagi para penggemar dan masyarakat umum, kontroversi ini mengajarkan pentingnya memahami konteks dari sebuah kebijakan. Di satu sisi, mungkin banyak yang merasa bahwa larangan tersebut terlalu kaku. Di sisi lain, penting juga untuk memahami bahwa setiap negara memiliki prioritas dan nilai-nilai sendiri yang terkadang memang berbeda dengan standar global.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun