Aku ialah kata paling masyhur, kata yang termaktub pada sesal. Perjalanan ini ditempuh cukup lama, tetapi relative terhadap pengalaman dan pertaubatan. Banyak dari mereka menganggap kisah derita dan derana orang lain hanya menjelma karang.
Lalu dituliskan kisahnya dalam buku bergenre "fiksi". Pemilihan kata dan ekspresi menjadi senjata utama untuk menyantapnya, seperti sendok dan garpu. Sendok untuk mencari dan membuka kedok, sedang garpu untuk menghakimi pelakunya.
Penentuan karakter dan penokohan yang nyata dibuat menjadi maya. Sebab maya adalah jubah pelindung penulis dari teriknya HAM yang begitu bebas dikendalikan oleh penguasa.
Aku merupa bayang-bayang yang mengintai mereka: perjuangan HAM. Tetapi ia masih saja ragu dengan, "apakah keputusan, pernyataan, pikiran, dan tindakannya akan membuat mereka kehilangan pekerjaan, kesulitan makan-minum, dan berakhir dalam kesengsaraan."
Mereka ragu, sebab tatkala ada dari mereka sedang dilanda kesengsaraan, yang lainnya dari mereka itu berubah rupa menjadi cuek, abai, pura-pura tidak kenal, delete contact, juga block contact; hanya untuk menjaga dirinya tetap dalam keadaan sejahtera walaupun orang lain sengsara. Katanya, "Aku juga pernah berada diposisi tersebut, dan begitu memilukan dalam keadaan sengsara. Aku ada saat mereka sama-sama sejahtera, tetapi ketika aku sengsara mereka meninggalkanku."
Sejak saat itulah, aku yang telah bersarang dalam hati dan kepalanya. Aku gegas menyerang walaupun tanpa bersenjata apapun. Sebab ia sudah kalah oleh dirinya sendiri, ia sudah lengah oleh egonya sendiri. Aku pun berkuasa untuk menghunusnya hingga menembus isi dalam kepalanya bahkan relung hatinya. Aku menjadikan mereka terjangkit FOMO (Fear Of Missing Out) untuk mengikuti arus yang tak harus. Jika suatu saat nanti ia tak bisa mengikuti arus tersebut, ia akan terjangkit penyakit yang lebih akut, yaitu FOGO (Fear of Going Out) dan FONO (Fear of Normal).
Jika mereka sudah terjangkit penyakit-penyakit tersebut, visiku sudah berhasil, sebab dampak dari hal itu adalah mereka akan terkurung dalam dua labiran, pertama insecure (menolak dirinya sendiri, tidak percaya diri), dan kedua mental block (membatasi dirinya sendiri, tidak tahu diri).
Ketika mereka sudah berada pada fase tersebut, aku adalah hal yang dijadikan tersangka utama: (ter)lambat. Sebab sudah terlalu banyak yang terlewati, dan tidak akan bisa kembali. Banyak yang sudah kecewa. Banyak yang sudah pergi. Banyak yang sudah mati.
"Apakah ini sudah (ter)lambat?", kata mereka bertanya-tanya dalam diri ditemani sunyi sambil menyeruput dinginnya es sepi.
"Entahlah nak, sudah teramat banyak nasehat yang ibu tawarkan tetapi kau abaikan dan malahan berbalik marah kepadaku. Sekarang, diusiamu yang sekarang, yang cukup dewasa, temukan sendiri saja jalanmu! dan caramu! ya Nak, insha allah ada hikmat yang mungkin saja belum terbuka dan terlihat. Ambil air wudhu dan sholatlah dengan ikhlas, insha allah, tuhan akan memberikan petunjuk-Nya kepadamu." kata seorang ibu yang senantiasa mendoakan anaknya walaupun ia selalu dibentak dan diabaikan, tetapi masih tetap memberikan hal apa saja, seperti tempat untuk pulang walaupun ia selalu menganggap dirinya tidak pernah pulang.
Tangerang, 14 November 2024