Hari demi hari, dunia pendidikan Indonesia seolah mengalami stagnan dalam memproduksi sumber daya manusia yang berkualitas bagi negeri ini. Padahal biaya untuk mengenyam pendidikan dari tingkat usia dini hingga universitas, kian hari kian mahal. Usaha pemerintah melalui departemen pendidikan dalam menyelesaikan permasalahan yang menggerogoti dunia pendidikan negeri seolah nihil, kalau pun ada beberapa usaha yang dilakukan baik dalam merubah sistem, dalam hal ini kurikulum hingga upgrade sarana dan prasarana sekolah, sejauh ini efeknya terasa tidak massif bagi dunia pendidikan. Kualitas pendidikan di republik ini tidak merata, tidak proporsional dan tersentralisasi. Hanya orang-orang yang menetap di kota yang bisa dibilang mendapat pendidikan yang lebih baik. Hal ini sungguh ironis, mengingat sila kelima pancasila mengingatkan kita bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia itu wajib diberikan pemerintah, dalam hal ini keadilan dalam mendapatkan pendidikan yang layak. Dalam arti kata, keadilan untuk mendapatkan pendidikan di negeri ini belum terpenuhi secara komprehensif.
Apa yang harus kita lakukan? Apa kita akan diam melihat fenomena ini terus menjangkit republik ini?
Jika kita termasuk orang yang apatis, kita bisa diam. Kita hanya akan mengawasi dari jauh seperti kasih tak sampai, kita serahkan semua permasalahan ini (lagi) kepada pemerintah.
Kapan usaha pemerintah menuai hasil signifikan? Entahlah, tanyakan saja pada rumput yang bergoyang, kata Ebiet G. Ade.
Kemudian, jika kita termasuk orang yang progresif, kita tidak bisa diam berpangku tangan. Kita harus berbuat sesuatu walaupun tak banyak, ingat, sedikit lebih baik daripada tidak sama sekali. Dari sedikit lama-lama akan menjadi bukit. Setidaknya kita bisa berkontribusi membantu pemerintah dalam mereduksi karut-marutnya pendidikan.
Kemudian, sebagai kaum progresif apa yang bisa kita perbuat untuk menyelamatkan masa depan pendidikan Indonesia?
Ingatlah pepatah bahwa pengalaman adalah guru terbaik bagi kita. Dari pepatah tersebut kita bisa belajar bahwa menangani permasalahan ini harus kita mulai dari diri sendiri.
Dalam perspektif seorang guru, jika kita termasuk salah satu guru progresif, kita harus peka terhadap kasus ini. Jika kita termasuk guru yang pasif, kita harus mulai merubah paradigma kita mulai sekarang.
Sebagai Negara berkembang, Indonesia patut menjadikan Finlandia sebagai kiblat dan acuan dalam mengimplementasi sistem dan proses pendidikan.
Finlandia merupakan Negara yang memiliki sistem, alat dan produk pendidikan terbaik di dunia.
Mengapa Finladia bisa sehebat itu? Bahkan para orang tua di Amerika penasaran dan mencoba mencari tahu sistem pendidikan yang dipakai Finlandia agar dikemudian hari Amerika bisa menirunya.
Ada beberapa aspek yang membuat Finlandia menjadi Negara terbaik dalam bidang pendidikan.
Pertama: Sistem pendidikan Finlandia menerapkan pemerataan pendidikan bagi semua anak dan kurikulum yang digunakan berpusat pada kemampuan seluruh siswa dibanding menitikberatkan kepada prestasi.
Kedua: Rata-rata beban mengajar seorang guru di Finlandia lebih sedikit dibanding negara-negara lainnya termasuk Amerika. Dengan begitu, guru-guru di Finlandia memiliki waktu luang untuk berdiskusi dan menelurkan ide-ide brilian demi meningkatkan kualitas pengajaran.
Ketiga: Metode pembelajaran dan pengajaran yang diberikan guru-guru Finlandia mengutamakan metode belajar bermain kreatif. Karena mereka paham bahwa antusiasme siswa perlu diaktifkan dalam proses belajar mengajar, motivasi berperan penting terhadap produk pendidikan yang dihasilkan.
Keempat: Waktu istirahat dan jam belajar yang pendek kemudian beban PR yang minim membuat siswa memiliki waktu untuk mengembangkan hobi dan minat mereka setelah jam pelajaran selesai.
Kelima: Pendidikan Finlandia tidak mementingkan ujian dan nilai seperti yang diterapkan di Negara-negara lain seperti Indonesia.
Dari kelima poin penting tersebut, negara kita bisa belajar. Memang kita tak bisa membalikkan telapak tangan secara instan, dibutuhkan proses panjang. Tapi setidaknya kita bisa sedikit mengadopsi pendidikan yang dilakukan Finlandia.
Dari kelima poin diatas, yang masih mungkin bisa kita implementasikan adalah poin nomor 3.
Kenapa poin nomor 3? Karena mengimplementasikan metode pembelajaran tidak akan sesulit merubah sistem pendidikan.
Penulis sebagai lulusan pendidikan di salah satu universitas di Jakarta memandang bahwa nukleus dan kelemahan pendidikan kita terletak pada paradigma mengajar guru-guru kita yang sudah terlalu usang. Metode konvensional masih dipakai hampir di seluruh Indonesia, walaupun sudah ada beberapa guru yang melek dan memiliki inisiatif untuk mengimplementasikan metode belajar kreatif. Tapi sekali lagi, hanya beberapa elemen guru yang peka terhadap hal ini. Yang kita butuhkan adalah kepekaan yang massif dari para guru. Dibutuhkan perubahan paradigma berpikir bahwa motivasi adalah hal paling vital dalam memacu antusiasme siswa untuk belajar.
Mengimplementasikan metode pembelajaran dalam proses belajar mengajar tidaklah sulit. Buku-buku dan hasil penelitian mengenai metode pembelajaran sudah bertebaran di mana-mana, namun ironisnya buku-buku dan hasil penelitian tersebut sekarang bagai onggokan kertas bekas tak terpakai. Sungguh miris!
Oleh karena itu, jika kita guru yang apatis, rubahlah sikap pasif kita menjadi aktif dan kreatif. Jika kita guru yang progresif, bukalah mata hati dan sensitivitas kita.
Mari kita reformasi paradigma bepikir dan cara mengajar kita wahai para guru!
Karena inilah pijakan awal kita untuk merevolusi pendidikan Indonesia.
Bangun dan merdekalah pendidikan Indonesia!
Karawang, 24 April 2015
Ditulis di Gubuk Reyot Tercinta
Untuk Kemajuan Pendidikan Indonesia dan Untukku Yang Jarang Bersua Pagi
Ilham Permana Santana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H