Semakin dahi saya berkerut, ketika hampir dalam waktu bersamaan dengan munculnya berita perjanjian Anies dan Prabowo, muncul pula berita Anies punya utang Rp 50 M kepada Sandi semasa Pilkada Jakarta yang dimenangkan Anies-Sandi.
Ini juga, menurut hemat saya, merupakan upaya untuk “menjegal” Anies. Berita itu juga menyudutkan Anies sebagai orang yang tidak bisa dipercaya, orang yang gemar ngutang tanpa mau membayar.
Sejauh yang saya baca, informasi utang Rp 50 milyar itu bukan disampaikan Sandi, tapi orang terdekatnya.
Tapi saya percaya, sebelum informasi itu diungkap kepada publik, sahabat dekatnya itu berdiskusi dulu dengan Sandi.
Yang menyedihkan, Sandi tidak atau belum memberikan penjelasan soal dua perkara itu dengan terang benderang dan santun serta bisa dipahami. Termasuk mengapa informasi itu muncul ketika Anies Baswedan mendapat sambutan meriah dari publik sebagai capres dan dianggap bisa memberikan angin segar kepada negeri ini.
Ya, Sandi suatu saat pasti akan memberikan klarifikasi atas semunya.
Sayangnya, khususnya bagi saya, apapun yang akan dilakukan Sandi nanti, berat untuk kembali bersimpati, kecuali ada hal-hal yang luar biasa dan klarifikasinya bukan ditujukan untuk menjegal Anies.
Mungkin ada yang bertanya, saya pasti pendukung Anies Baswedan yang tidak ingin calonnya diserang sana-sini? Jawabnya bukan, atau setidaknya belum.
Dengan hilangnya simpati kepada Sandi, sebagai orang Sunda, saya kini berharap ada orang Sunda yang bisa tampil di pilpres 2024 nanti. Ridwan Kamil atau Ahmad Heryawan, misalnya.
Lagi pula konstelasi masih bisa berubah. Walaupun Anies Baswedan sudah memegang tiket nyapres, segalanya masih bisa berubah.
Sementara untuk Sandi, saya berfikir panjang lagi.