"Jangan sekedar lewat di PR, ya, Pe."
Kalimat itu masih terngiang di telinga saya. Yang berbicara Kang Endi Sungkono, Desk Daerah HU PR, suatu ketika sebelum digelar rapat redaksi di Markas PR, Jalan Soekarno-Hatta 147 Bandung.
Kang Endi, ketika saya duduk di kursi depan mejanya bertanya, sebelum jadi wartawan PR, saya kerja di mana. Saya (di lingkungan Grup PR kerap dipanggil Ape, kependekan dari Aam Permana) jawab, di Galura.
Beliau mengangguk. Saya yakin itu hanya basa-basi, karena dia pasti sudah mendengar latar belakang wartawan baru yang lolos seleksi.
"Ingat, kamu jangan sekedar lewat di PR. Jadilah sesuatu," ucapnya sambil tersenyum. Redaktur yang satu ini bertubuh tinggi besar dan berpenampilan kalem. Berjalan pun pelan. Satu hal lagi, selalu senyum. Kalau bicara santai, tak pernah meledak-ledak.
Saya awalnya tidak paham makna kalimatnya. Saya baru memahaminya beberapa tahun kemudian. Ia ingin saya menjadi "orang" di Pikiran Rakyat, bukan hanya sekedar wartawan atau karyawan. Setidaknya, saya bisa jadi redaktur, atau apa saja. Itulah yang saya pahami dari pesan Kang Endi yang saya yakin juga disampaikan kepada yang lain.
Sayangnya, harapan Kang Endi itu tidak berhasil saya wujudkan. Hidup adalah pilihan, dan saya memilih jalan yang sebenarnya tidak saya kehendaki. Soal itu, insya Allah akan saya catat dalam tulisan ini, esok atau lusa.
Kasus Dukun Santet
Tahun 1999, Jawa Barat pernah digegerkan oleh kasus pembunuhan sejumlah orang yang diduga dukun santet. Kasusnya terjadi di beberapa daerah, salahsatunya di selatan Ciamis. Â Kasus tersebut, sudah pasti menjadi perhatian saya ketika bertugas di Ciamis di pengujung 1999.
Bersama Yedi Supriadi, kami kerap berbagi tugas untuk meliput kasus tersebut. Yedi saat itu sering meliput sidang-sidang kasus santet di Kejaksaan Ciamis, atau nongkrong mencari info baru ke pengacara korban santet, Aep SH, tak jauh dari kantor.