Pada pertengahan 2020, kalau tidak salah, pemerintah menyuarakan apa yang disebut  AKB (Adaptasi Kebiasaan Baru). Pemahaman saya, AKB adalah hidup seperti biasa, tetapi dengan melaksanakan kebiasaan baru agar terhindari dari virus Covid-19. Kebiasaan dimaksud adalah menjaga jarak, memakai masker dan sering mencuci tangan.
Sejumlah poster, spanduk dan selebaran lain termasuk iklan di media massa, bermunculan sebagai sosialisasi AKB, termasuk di daerah saya, Kabupaten Sumedang. Warga termasuk saya menyambut baik seruan tersebut dengan menerapkan kebiasaan tadi, dalam kehidupan sehari-hari. Walaupun tidak nyaman, kemana-mana selalu memakai masker, membawa sabun cair pencuci tangan, dan selalu menjaga jarak, terutama dengan orang lain ketika berada di luar rumah.
Akan tetapi, seiring dengan perjalanan waktu, pemerintah, mulai dari pusat hingga daerah seperti bosan menyuarakan AKB. Apakah karena AKB dipandang kurang efektif menahan laju serangan virus? Atau karena ada kebijakan lain? Terus terang, saya kurang tahu.
Yang jelas, karena ada kekendoran pemerintah atau fihak terkait penanganan Covid-19, masyarakat sering lupa memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan setelah bersentuhan dengan orang lain. Kebiasaan baru yang menurut  hemat saya ampuh meminimalisir penyebaran virus covid-19 itu, bahkan dianggap tidak penting oleh sebagian masyarakat.
Akibatnya? Yang saya tahu, masyarakat yang terpapar virus Covid kembali melonjak. Â Di desa saya, misalnya, belakangan yang mengaku positif atau merasakan gejala terpapar virus, banyak sekali. Itu, termasuk keluarga saya lho. Secara nasional pun, seperti yang saya lihat, baca dan dengar, angka yang terpapar, sangat mengkhawatirkan.
Pemerintah, berdasarkan berbagai pertimbangan, kemudian membuat kebijakan-kebijakan seperti (terakhir) PPKM level 4, untuk mengurangi jumlah warga yang terpapar. Sayangnya, upaya tersebut belum seperti diharapkan. Jumlah warga yang terpapar justru kian tinggi hingga negeri yang saya cintai ini, mendapat sorotan internasional.
Saya bisa membayangkan betapa paniknya pemerintah untuk menyelesaikan persoalan tingginya angka yang terpapar Covid-19. Selain panik, pemerintah juga harus menjawab berbagai kritikan dan sentilan dari para pakar atau siapa saja yang merasa tidak puas; serta merespon jeritan warga yang terpaksa kehilangan pekerjaan, penghasilan dan lain-lain akibat PPKM.
Seperti yang disampaikan pemerintah, PPKM berakhir akhir Juli dan awal Agustus ini harus ada kebijakan baru, apakah PPKM dilanjut, dihentikan atau diganti oleh kebijakan lain?  Sejauh yang saya amati, banyak  yang berharap dilanjutkan karena angka yang terpapar semakin "gila". Akan tetapi yang  meminta dihentikan juga tidak kalah banyaknya.
Pemerintah tidak mudah untuk mengeluarkan kebijakan tentang hal itu.
Terakhir, di lubuk hati terdalam saya ada harapan, pemerintah sedikit mengendorkan pembatasan terutama yang bersinggungan dengan mata pencaharian  masyarakat kecil atau sektor yang banyak mempekerjakan orang seperti tempat hiburan, pasar, mall dan yang lainnya.