Desa, setelah negeri ini mengalami musibah akibat Covid-19, sepertinya tidak akan bisa berkembang seperti diharapkan.
Boleh jadi, masa depan desa akan suram dan kelam -- walau tentu saja kenyataannya nanti diharapkan tidak seperti itu.
Ihwal mengapa ada kekhawatiran seperti itu, karena sejauh diketahui, terutama sejak Indonesai dinyatakan sebagai Darurat Nasional dengan diberlakukannnya UU Darurat Kesehatan dan UU Darurat Bencana Non alam, Dana Desa (DD) dan ADD diperbolehkan oleh pemerintah, digunakan desa untuk bantuan sosial.
Bahkan bukan hanya itu saja. Jika musibah berkepanjangan, tidak mustahil desa samasekali tidak memiliki "pegangan" apapun, karena pemerintah sudah mengeluarkan produk hukum yang disebut UU Corona, yakni UU No.2 tahun 2020.
Jika dicermati, undang-undang yang semula Perpu No 1 tahun 2020 itu, ternyata memungkinkan pemerintah mengamputasi hak keuangan desa seperti yang dinyatakan dalam UU Desa pasal 72.
Dengan demikian, jika itu terjadi, dana desa yg selama ini menjadi pendapatan bagi desa dan menjadi hak desa, bisa saja dibatalkan, apabila keuangan negara tidak cukup.
Artinya?
Pertama, posisi desa yang sebelum ada musibah Covid-19 kebanyakan masih belum bisa berkembang, akan sulit berkembang. Betapapun, anggaran berupa Dana Desa dan yang lainnya, sangat dibutuhkan oleh desa.
Di tahun ini, tak mustahil desa kebanyakan akan "berjalan di tempat". Target-target pembangunan dan pemberdayaan masyarakat, misalnya kemungkinan akan terbengkalai.
Penulis yakin bahwa desa kuat, maka negara pun akan kuat. Namun entah apa yang terjadi nanti, jika kenyataannya anggaran untuk membuat desa kuat, justru dipreteli.
Kedua, sebagai orang desa, penulis berharap, regulasi yang diciptakan pemerintah untuk menangani dampak virus corona, tidak sampai menghabisi seluruh anggaran untuk desa. ADD pun, jika mungkin, tidak perlu digunakan, Â dan jika sudah kadung digunakan atas instruksi kementrian terkait, suatu saat nanti harus diganti.