Mohon tunggu...
PermanaHendra Kah
PermanaHendra Kah Mohon Tunggu... -

Nyoba menerjemahkan bayangan dalam wujud tulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Lambaian Rok Mini Mahasiswi

13 April 2012   06:57 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:40 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

LAMBAIAN ROK MINI MAHASISWI

Bagaimanakah kita harus menyikapi penggunaan rok mini di lingkungan akademik universitas ? sebelum menjawab pertanyan itu, ada baiknya kita mengingat kembali akan esensi sebenarnya dari sebuah pendidikan. Pendidikan dijalankan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia dengan proses dialektika ilmu pengetahuan. Di dalam proses tersebut, tercakup pula dialektika kebudayaan, yang mana masalah perbusanaan ada di dalamnya. Dari sinilah kemudian muncul sebuah pengartian bahwa untuk mencapai peningkatan harkat dan martabat manusia, kebudayaan haruslah mengacu pada nilai kehormatan diri dan toleransi pada masing-masing bagiannya.

Nilai kehormatan yang dimaksud tidak hanya berasal dari dalam diri individu saja tetapi juga berkaitan dengan pandangan yang timbul dari identitas budaya yang ditampilkan. Busana adalah salah satu hal yang tidak bisa tidak, sangat berpengaruh dalam membentuk pandangan tersebut. misal ketika seseorang memakai busana tradisional seperti surjan atau kebaya, tentu akan berbeda dengan seorang yang memakai t-shirt dan jeans. Memang hal itu sangat bergantung dengan konteks kapan dan dimana busana itu dikenakan. Orang Jawa mengenal istilah “ ajining diri ana ing lathi, ajining raga ana ing busana”, artinya, seseorang dianggap memiliki kehormatan diri dari tata bicara, dan busananya.

Ketika rok mini kemudian digunjingkan pemakaiannya dalam lingkungan akademik, hendaknya kita tidak lagi terjebak pada perdebatan bahwa rok mini mengundang pikiran kotor para lelaki atau tidak, akan tetapi kembali pada pemahaman awal bahwa busana merupakan bagian dari budaya baru yang berkembang. Dari hal tersebut barulah memunculkan pertanyaan : apakah rok mini itu bernilai bagi kehormatan si pemakainya ? apakah juga pemakaian rok mini tersebut telah didasarkan pada toleransi untuk hak orang lain yang ada di tempat tersebut ?

Pertanyaan tersebut bernilai netral, yaitu apabila rok mini tersebut memang menjadikan kehormatan diri si pemakai meningkat maka silakan rok mini itu dipakai. Akan tetapi kemudian meyambung pada pertanyaan berikutnya apakah pemakaian itu sudah dipikirkan bahwa tidak akan mengganggu hak orang lain untuk merasa nyaman dalam menjalankan aktifitasnya. Rasa nyaman atau tidaknya orang lain itu perlu dilihat dari sudut pandang budaya timur, yang harus kita akui sebagai budaya dasar kita sebagai Bangsa Indonesia. Barulah setelah pertimbangan toleransi tersebut telah dipenuhi maka dipersilakan bagi siapa saja untuk memakai rok mini.

Walaupun begitu, masih sangat diperlukan adanya peraturan tentang penggunaan busana di dalam lingkungan kampus. Hal ini berkaitan dengan upaya menjaga integritas lingkungan akademik sebagai tempat yang berbudaya dan terhormat bagi seluruh civitas akademikanya. Peraturan semisal : “Batas rok paling pendek adalah dalam posisi duduk, bagian paling bawah rok berada satu kepal di atas lutut”, tentu bukan untuk menghalangi penggunaan hak berbusana. Peraturan tersebut hendaknya dipahami sebagai upaya menjaga kehormatan individu sekaligus mengingatkan bahwa hak kita tidak tak terbatas. Ini sangat perlu dimengerti karena kita berinteraksi dalam sebuah komunitas sosial yang tiap anggota memiliki hak yang berimpitan, karenanya, tidak semua hak yang dimiliki bebas untuk diwujudkan. Sangat egois tentunya bila kita memaksakan hak pribadi kita sementara karena itu orang lain menjadi kehilangan sebagian haknya.

Pada titik ini kedewasaan berpikir menjadi poin penting untuk keberhasilan sebuah interaksi. Sikap kedewasaan itu merujuk pada kesadaran pribadi akan hal apa yang pantas dan tidak pantas dilakukan, bukan tuntutan buta akan apa yang disebut sebagai “HAK ASASI MANUSIA”. Dari sikap tersebut akan terjalin sebuah harmoni dalam tata kehidupan sosial yang damai, solid, dan saling membangun. Dengan kesadaran itu, tidak akan ada keterpaksaan dalam menjalankan aturan yang ada karena keyakinan bahwa itu semua demi kehormatan pribadi dan kepentingan bersama sebagai sebuah komunitas sosial intelektual.

*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun