Erupsi merapi 2010,,itulah momen paling besar yang mendorong kami terjun dalam hiruk-pikuk dunia relawan. Bersama teman-teman mahasiswa UGM yang tergabung dalam Gelanggang Emergency Response (GER) Gelanggang Mahasiswa UGM, kami berusaha melayani dan memfasilitasi para pengungsi korban letusan merapi yang tertampung dalam Posko Pengungsian UGM. Posko tersebut dibagi dalam dua lokasi yang kesemuanya berada dalam wilayah UGM, yaitu Posko Gelanggang Mahasiswa dan Posko Purna Budaya (Ged. Koesnadi Hardja Soemantri).
Peristiwa erupsi 2010 tersebut memang sebelumnya sudah diprediksi oleh para ahli kegunungapian, akan tetapi masyarakat baru merasa kaget setelah anggal 26 Oktober 2010, merapi “menepati janjinya”. Lebih miris larena letusan pada magrib hari itu memusnahkan desa kinahrejo, desa tertinggi di wilayah terebut yang sekaligus domisili bagi tokoh paling berpengaruh : Mbah Maridjan, Sang Juru Kunci. Tokoh kepercayaan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat itu sebelumnya memang menolak untuk mengungsi karena merasa bahwa, meninggalkan merapi dalam keadaan itu merupakan pengingkaran terhadap tugas yang diberikan.
Kami bersama teman-teman GER sebelum letusan itu memang sudah mulai bersiaga bila sewaktu-waktu erupsi terjadi. Beberapa koordinasi telah kami lakukan di tengah kesibukan kami menghadapi ujian tengah semester. Beruntung pada minggu pertama bulan oktober itu, saya sudah menjalani ujian skripsi dan dinyatakan lulus. Dalam koordinasi awal, para peserta lebih didominasi perwakilan UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Gelanggang Mahasiswa UGM. Saya sendiri perwakilan dari Satuan Resimen Mahasiswa. Inti dari koordinasi awal adalah menyamakan visi dan bersama-sama menyiapkan diri untuk membantu warga apabila erupsi terjadi.
Ketika erupsi pertama terjadi, saya pribadi tidak langsung mengikuti GER yang dengan sigap segera mengirim berbagai bantuan logistik ke berbagai posko pengungsian yang telah dibentuk di sekitar wilayah Gunung Merapi. Saat itu saya dan beberapa perwakilan mahasiswa mendampingi tim UGM untuk melakukan assessment korban di wilayah merapi lingkar Yogya-Magelang. Setelah itu kami mulai aktif berbagi tugas dengan teman-teman GER, mulai mengirimkan bantuan logistik sampai dengan ikut di BKO(bawah koordinasi)-kan pada beberapa pos pengungsian yang telah aktif.
Sampai hari Rabu tanggal 3 November 2010, belum terlalu ada aktivitas mencolok di posko GER, Gelanggang Mahasiswa kecuali koordinasi rutin dan distribusi logistik. GER memang telah berhasil menggalang bantuan dari banyak pihak untuk disalurkan pada pengungsi, terutama dari para alumni Gelanggang. Hari itu kami bertugas mendirikan tenda darurat di wilayah Umbulharjo, sekitar 7 KM dari puncak Merapi, bersama Tim Relawan Psikologi UGM. Baru separo berdiri, kami, para relawan dikejutkan dengan sirene tanda bahaya yang meraung-raung dari atas. Seluruh relawan dan warga di wilayah itu diperintahkan segera turun karena dikhawatirkan situasi bahya dari puncak yang saat itu dilanda hujan deras. Akhirnya kamipun pergi setelah beberapa mobil liputan TV juga turun dengan tergesa-gesa. Tenda bantuan UNESCO yang baru stengah jadi itupun terpaksa kami tinggalkan. Belakangan kami tau bahwa Tim TNI berhasil menyelamatkan tenda itu dan memindahkannya di tempat lain.
Sepanjang Kamis, kilat menyambar dengan suara menggelegar dari arah puncak. Posko pengungsian di radius kurang dari 15 KM telah mulai dievakuasi menuju tempat yang lebih aman. Gelombang perpindahan pengungsi mulai meningkat setelah terjadi hujan lumpur sekitar magrib hari itu. Kami saat itu lebih terkonsentrasi di kampus UGM, Gelanggang Mahasiswa, sambil menyiapkan diri menerima eksodus pengungsi dari posko atas yang mulai dikosongkan.
Lepas tengah malam masuk hari Jumat, 5 November 2005,sekitar pukul 00.35 dari kampus UGM terdengar suara ledakan tertahan. Beberapa orang mengira bahwa itu hanyalah suara petir tapi kemudian disadari : Merapi meletus lagi. Setelah itu eksodus besar-besaran seluruh pengungsi dan warga mulai terjadi dengan tujuan kota Yogyakarta. posko pengungsi UGM - GER diaktivkan.
Kami membagi diri dalam beberapa kelompok : tim sekretariat, tim komunikasi, tim dapur umum, tim logistik, tim keamanan, dan tim mobile. Awalnya kami bekerja bersama tanpa begitu memerhatikan pembagian tugas, karena memang keadaan yang ukup kalut dan pengungsi yang datang cukup banyak, sangat ramai. Diluar dugaan kami, pada hari itu juga, berdatangan banyak sekali mahasiswa yang mayoritas indekos di sekitar kampus, yang datang di Gelanggang Mahasiswa untuk membantu sebagai relawan. Begitu banyaknya sehingga Tim Sekertariat GER sempat kewalahan saat harus membuat data base untuk rekan relawan baru ini. Selanjutnya para relawan tersebut ditepatkan pada tim-tim yang telah ada.
Dari titik diatas, kami para relawan GER, kemudian melewati masa bertugas selama hampir 5 minggu. Hari-hari kami isi dengan berbagai pekerjaan yang dibagikan sesuai tim masing-masing. Saya sendiri masuk dalam tim keamanan. Walaupun begitu, kami selalu menyesuaikan diri, saling membantu tiap tim untuk menyelesaikan tugasnya. Dengan pola tugas seperti itu, kedekatan antar relawan menjadi lebih kuat. Bahkan tidak hanya antar relawan, dengan para pengungsi-pun kami semakin mengenal dan menjadi dekat. Terutama dalam tgas mencuci alat-alat makan dan masak, kami selalu dibantu oelh beberapa ibu-ibu pengungsi, bahkan mereka juga membantu tim dapur umum memasak. Ketika saat itu bertepata dengan hari raya idhul adha, seluruh pengungsi dan relawan yang ada melakukan sholat ied bersama dan turut membantu penyembelihan hewan kurban. Begitu dekatnya kami dengan para pengungsi ini sehingga sampai saat ini kami masih menjaga hubungan dengan beberapa dari mereka.
Selama masa pengungsian tersebut, diantara para relawan terkadang dijangkiti konflik. Paling banyak terjadi konflik karena misskomunikasi dalam bertugas. Begitu ketatnya pekerjaan yang harus dilakukan dalam menangan posko ini sehingga banyak diantara relawan tidak mendapatkan cukup kesempatan istirahat. Keadaan tersebut diperparah dengan semakin berkurangnya jumlah relawan yang ada sehingga kami yang tersisa benar-benar harus bekerja semakin keras. Walaupun saat itu kami dibantu personel TNI , akan tetapi mereka saat itu hanya bertugas membantu pengamanan dan beberapa hal lain seperti dapur umum dan logistik sehingga tidak terlalu mengerti permasalahan yang terjadi. Dalam keadaan seperti itu tidak mengherankan bila kesalahpahaman kecil-pun bisa menjadi konflik diantara kami.
Disisi lain, kami pun jadi lebih mengenal banyak relawan lain yang sebelumnya tidak kami kenal. Seperti di tim kemanan, kami mendapatkan banyak teman dari salah satu band indie Yogya yang cukup dikenal di komunitas indie, Discomojoyo. Mereka yang sebelumnya hanya kami kenal lewat beberapa lagu disconya yang diputar radio local, ternyata kemudian menjadi teman kami saat menjadi relawan. Selain itu, ada juga beberapa mahasiswa asing yang turut menjadi relawan, walaupun beberapa dari kami kadang harus memakai bahasa primitif tapi kami sangat terbantu dan senang sekali dengan kehadiran mereka.
Suka duka banyak kami alami bersama selama beberapa minggu itu. Seperti saat memimpin senam bersama para pengungsi dengan diiringi lagu-lagu Discomojoyo (sekalian promosi) atau saat ada pengungsi yang berhasil melahirkan dengan selamat di masa pengungsian itu. Duka juga saat beberapa dari kami kehilangan beberapa barang berharga miliknya, yah, seperti biasa, ada yang memanfaatkan keadaan seperti itu untuk mencari keuntungan pribadi. Duka yang paling terasa mungkin adalah adanya penundaan prosesi wisuda bagi para relawan yang telah lulus dalam periode Agustus-Oktober 2010 yang seharusnya menjalani prosesi wisuda pada bulan November, termasuk saya. Dengan sangat menyesal harus merelakan prosesi itu ditunda sampai tiga bulan berikutnya, Februari 2011.
Ketika posko GER itu secara resmi dinon-aktifkan, medio Desember 2010, para pengungsi yang tersisa kemudian diambil alih oleh daerah dan ditempatkan di pusat pengungsian Stadion Maguwoharjo Sleman. Kami, para relawan melepaskan rutinitas posko yang selama itu selalu kami jalani dengan bermacam perasaan. Terharu, dan bangga karena telah berhasil melayani sekian ratus pengungsi yang ada di posko kami. Ada juga rasa sesal, mengapa baru sebatas itu yang bisa kami lakukan untuk mereka. Akhirnya dari kesemua pengalaman tersebut, hal yang paling berkesan adalah bahwa dengan menjadi relawan kemanusiaan, kami menjadi semakin sadar dengan betapa lemahnya manusia dibanding dengan kekuatan Yang Maha Kuasa. Dengan saling membantu itulah, tanpa pandang siapapun juga, kita akan semakin mengerti arti hidup ini untuk orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H