Organisasi Kesehatan Dunia, WHO, pada akhir Oktober 2024 yang menyatakan bahwa 'TBC menggantikan COVID-19 sebagai penyebab utama kematian terkait penyakit menular pada tahun 2023'. Bahkan Direktur Jenderal WHO dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus menyampaikan kepada wartawan, pernyataan yang pantas membuka mata semua orang, "Fakta bahwa TBC masih membunuh dan membuat banyak orang sakit adalah hal yang memalukan, ketika kita memiliki alat untuk mencegah, mendeteksi dan mengobatinya." 'Memalukan' ? Di satu sisi saya sependapat dengan Teman Sejawat, dr. Tedros, orang nomor satu di WHO, yang berasal dari Yunani itu.
Saya tertegun membaca cuplikan laporanMengapa demikian ? Baiklah kita telusuri 'riwayat' penyakit ini. Bukti tertua yang bisa disimak tentang TBC adalah temuan para arkeolog berupa tanda-tanda TBC pada sisa-sisa ibu dan anak yang dikubur bersama kira-kira 9.000 tahun yang lalu di Atlit Yam, sebuah kota yang sekarang berada di lepas pantai Israel. Selama beribu tahun, penyakit ini terus menerus menjadi masalah kesehatan masyarakat. Hal ini dibuktikan oleh para pakar kesehatan kuno dari India yang telah menulis tentang penyakit ini kira-kira 3.000 tahun yang lalu dan di Tiongkok sekitar 2.300 tahun yang lalu. Di sepanjang sejarah sesudahnya, TBC, yang pada waktu-waktu itu belum disebut demikian, hampir selalu menjadi 'momok' bagi manusia di berbagai area, khususnya pada area-area dengan kondisi sosial ekonomi kurang baik. Dan tentu saja penyakit ini menjadi salah satu 'pencabut nyawa' yang sangat ditakuti !
Penyebabnya masih belum diketahui pada masa-masa itu. Ada pakar yang menyebutnya sebagai penyakit genetik, namun ada pula masa di mana masyarakat percaya bahwa penyebaran penyakit ini dilakukan oleh vampir, jelmaan penderita yang meninggal. Selama ribuan tahun manusia dibingungkan sekaligus sangat khawatir dan tidak sedikit yang menjadi korban penyakit ini. Mujurlah, Mr. Robert Heinrich Herman Koch yang hidup antara 11 Desember 1843 hingga 27 Mei 1910, sebagai seorang dokter dan ahli mikrobiologi dari Jerman, berhasil membawa revolusi besar dalam bidang bakteriologi, ilmu tentang bakteri. Salah satu penemuan besarnya adalah bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagai penyebab penyakit yang kemudian dikenal sebagai TBC. Penemuan  itu disampaikan pada 24 Maret 1882 dalam presentasi berjudul 'Die Aetiologie der Tuberculose'. Presentasi itu disampaikan Mr. Koch pada konferensi Berlin Physiological Society. Dengan penemuan yang sangat bersejarah sekaligus mengubah sejarah itu, Robert Koch berhasil membuktikan bahwa TBC bukan penyakit keturunan dan tidak pula disebarkan oleh vampir. TBC adalah penyakit menular. Atas jasanya yang luar biasa itu Robert Koch dianugerahi Hadiah Nobel Bidang Kedokteran dan Fisiologi pada tahun 1905.
Sangat harus dipahami sekaligus disadari bahwa TBC merupakan penyakit menular dengan 'eksternalitas tinggi'. Frasa eksternalitas tinggi mengadung arti, bila dalam suatu lingkungan ada orang yang menderita penyakit ini, maka sejumlah orang lain, terutama yang berkontak erat dengan penderita ini, sangat berisiko tertular. Penularan TBC terjadi melalui udara, kuman menyebar ketika pengidap penyakit TBC batuk, berbicara, atau bernyanyi. Fakta yang juga menjadi perhatian para pakar adalah bahwa TBC bukan hanya bisa menyerang paru-paru, melainkan juga, sebagai komplikasi, dapat 'bersarang' pada bagian lain dalam tubuh seperti otak, selaput otak, tulang belakang, sendi, tulang, kelenjar getah bening, saluran cerna, dan organ lainnya. Dan TBC bisa memicu berbagai komplikasi lain seperti kerusakan paru-paru dan saluran napas dengan berbagai gejala termasuk sesak napas, batuk darah, dan gagal napas, anemia atau kurang darah, penumpukan udara atau cairan pada rongga selaput paru-paru atau pleura, hingga yang terburuk, sepsis, koma, bahkan kematian.
Walaupun jumlah kematian akibat TBC turun dari 1,32 juta pada tahun 2022 menjadi 1,25 juta pada tahun 2023, namun jumlah total orang yang jatuh sakit sedikit meningkat menjadi sekitar 10,8 juta pada tahun 2023, menurut data WHO. Data ini menunjukkan bahwa upaya penggulangan penyakit TBC secara global belum memuaskan, atau menurut istilah WHO, 'masih berada di luar jalur'. Inilah mungkin alasan dr. Tedros menggunakan istilah 'memalukan' karena selama beribu tahun sejak penyakit ini mulai ada, dan sekitar delapan dekade sejak penemuan obat tuberkulosis yang telah melalui proses yang panjang, penyakit ini masih belum bisa 'dikalahkan'.
Namun, pada sisi lain, kita perlu mengingat sejumlah hal yang dapat mempengaruhi 'eksistensi' penyakit ini. Karena TBC merupakan penyakit infeksi maka ada tiga faktor yang sangat berperan yaitu 'host', 'agent', dan 'environment'. Dari sisi host, imunitas atau daya tahan tubuh penderita sangat menentukan, dan daya tahan tubuh ini ditentukan pula oleh sejumlah hal termasuk genetik, pola makan dan status gizi, status sosial ekonomi, kebiasaan seperti merokok dan konsumsi alkohol, stres, pola tidur, keadaan lingkungan, konsumsi obat tertentu dalam jangka lama, ada atau tidaknya penyakit penyerta atau komorbiditas semisal diabetes, hipertensi, HIC-AIDS, dan sebagainya. Masalah lain yang tidak kalah serius adalah ketidakpatuhan dan ketidakdisiplinan penderita mengkonsumsi obat, dengan berbagai alasan. Dari sisi kuman TBC sebagai agent, hal-hal yang berpengaruh termasuk 'keganasan' dan jumlah kuman, kemampuan bermutasi, dan yang sangat dikhawatirkan secara global adalah resistensi terhadap Obat Anti Tuberkulosis, baik terhadap satu jenis obat, apalagi secara luas, terhadap semua jenis obat. Dari sisi environment, sebagian besar penderita TBC bermukim di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah, yang tentu secara linier, hampir pasti, lingkungannya 'memihak' terhadap kuman. Nah, Tenaga-tenaga kesehatan harus 'bergumul' dengan begitu banyak tantangan dalam upaya 'memerangi' penyakit ini.
Lantas, apa yang bisa dilakukan masyarakat dalam menghadapi masalah global, TBC ?
Pertama : semua orang perlu meningkatkan kesadaran akan adanya bahaya bersama, penyakit TBC.
Kedua : siap membantu orang-orang dengan gejala TBC untuk mencari bantuan.
Ketiga : bantu petugas kesehatan mengidentifikasi dan menindaklanjuti kontak dekat penderita TBC.
Keempat : motivasi dan bantu pasien untuk patuh dan berdisiplin mengkonsumsi obat dan menyelesaikan pengobatan.