Mohon tunggu...
Leonardo Wibawa Permana
Leonardo Wibawa Permana Mohon Tunggu... Dokter - Dokter, Dosen, Trainer Manajemen dan Akreditasi Rumah Sakit dan Fasyankes Lainnya, Narasumber Seminar, Penulis.

dokter

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Refleksi Kehidupan Kristiani, 'Toxic Positivity', Niat Baik yang Bisa 'Mematikan'

26 November 2024   14:21 Diperbarui: 26 November 2024   14:52 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.pexels.com/photo/woman-in-white-long-sleeve-shirt-sitting-on-brown-armchair-5217850/

Kemarin, di saat kita menikmati bacaan Injil tentang Persembahan Janda Miskin, kebetulan saya menyimak pula salah satu sharing di medsos tentang seorang Bapak Keluarga yang menawarkan beberapa benda suci, yang ada di rumahnya, untuk dijual demi mendapatkan uang bagi keluarganya karena sangat sulitnya keadaan ekonomi mereka. Ini jelas mengejutkan. Namun, yang lebih mengejutkan saya adalah komentar seseorang yang menulis kira-kira demikian, "Masak benda suci mau dijual ? Apakah selama ini benda-benda itu tidak kamu pakai untuk berdoa sehingga kamu tidak tertolong ? Saya tertolong karena berdoa melalui benda-benda semacam itu."Saya terkejut, pertama karena pemahaman yang keliru tentang benda-benda suci yang sepertinya dianggap semacam 'jimat' sehingga kalau berdoa 'harus ada' benda-benda suci, bukannya benda-benda itu digunakan hanya sebagai gambaran untuk mengingat Orang-orang Suci yang diwakilinya. Kalau seperti ini, tidak salah kalau ada orang non Katolik yang menganggap Umat Kristen Katolik menyembah patung !

Saya lebih terkejut lagi karena alasan yang kedua, penanggap itu menganggap bahkan menghakimi orang itu tidak berdoa dan sepertinya juga seakan tidak beriman sehingga tidak tertolong ! Jujur, sebagian orang sering sekali melakukan 'toxic positivity', dalam banyak kesempatan, dengan niat baik harusnya, berusaha menguatkan dan mendorong, atau bahkan 'tergelincir' pada penghakiman terhadap orang lain, agar tetap atau malah menjadi semakin positif. Kalau ada orang yang mengalami kesulitan, entah keuangan, sakit yang sulit disembuhkan, atau bahkan kehilangan orang yang dicintai, kalimat-kalimat yang muncul antara lain, "Engkau harus beriman karena Tuhan tidak pernah memberi beban yang lebih daripada yang dapat engkau tanggung !", "Yakinlah mujizat akan datang padamu !", "Engkau harus kuat dan tegar, jangan cengeng !", "Penyakitmu pasti akan sembuh !", "Jangan larut dalam kesedihan karena orang terdekatmu sudah di Surga, dia sudah tidak sakit lagi !", dan sederet kalimat lain yang mungkin maksudnya baik tetapi 'bisa mematikan' ! Mengapa ? Karena orang didorong terus untuk 'menjadi positif' dalam situasi apapun, situasi terburuk sekalipun, dengan cara apapun, termasuk mengingkari pikiran dan perasaannya sendiri ! Lantas, kalau gagal menjadi positif ? Muncul justifikasi atau penghakiman, "Kamu cengeng !", "Itu saja tidak bisa kamu tanggung !", "Imanmu lemah, tentu saja berkat tidak turun atasmu !", dan sejumlah kalimat lain yang melemahkan, sungguh melemahkan ! Sangat mungkin, orang yang kepadanya 'dipaksakan' positivity akan berteriak, kalaupun hanya dalam hati, "Kamu lebih baik diam daripada berbicara ! Saya tidak perlu nasihatmu ! Kamu tidak mengerti saya ! Kamu hanya bisa bicara karena keadaanmu baik-baik saja !". Inilah yang disebut toxic positivity. Lalu, mengapa toxic posivity bisa 'mematikan' ? Karena kegagalan untuk menjadi tetap positif membuat orang merasa lebih dan lebih gagal, semakin frustrasi, stres, dan depresi, yang bukan tidak mungkin berakhir dengan ' mematikan diri sendiri'.

Sebagai sesama, saudara dan saudari yang berniat membantu, kita harus pertama-tama berempati dengan apa yang orang lain alami, berupaya masuk ke dalam diri orang itu, sebelum memberikan komentar macam-macam, kalaupun itu dimaksudkan sebagai peneguhan. Berempati dengan mendengarkan, tak jarang itu sudah lebih dari cukup. Seperti saudara yang saya ceritakan di atas, dia menerakan norek di medsosnya, dan dari narasinya saya sangat yakin bahwa dia benar-benar kesulitan, maka, uluran hati dan tangan untuk mulai mengetik di m banking atau mengeluarkan kartu ATM, itu sangat berarti untuk 'penyelamatan' Anak-anak Tuhan, sekiranyapun yang kita berikan 'hanya' dua peser seperti persembahan Janda Miskin, yang memberikan seluruh Hatinya itu.

"Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu ! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus" (Gal 6:2). "Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan ? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia ? Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari, dan seorang dari antara kamu berkata: 'Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang !', tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu ? Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati" (Yak 2:14-17).

Sering sekali orang yang mengalami tak mampu berkata-kata, orang yang berkata-kata tak pernah mengalami !

Merujuk kepada Santo Yakobus, "Positivity tanpa perbuatan nyata, pada hakekatnya bisa mematikan !"

Mungkin ada pertanyaan dari sebagian orang, "Bagaimana jika orang itu 'menipu' ?" Saya sangat yakin tidak ! Andainyapun memang demikian, saya lebih memilih membantu orang dan tertipu daripada tidak membantu orang yang memang membutuhkan hanya karena takut ditipu ! 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun