Mega-mega mendung teramat tebal bergayut di langit, menandakan hujan tak lama lagi akan mengguyur bumi. Sang Filsuf tetap mengayuh sepeda tuanya, menuju rumah salah seorang sahabatnya, Pak Karni. 'Janji adalah janji', begitu prinsip Filsuf. Dia telah berjanji mengunjungi sahabatnya itu pada Minggu sore, saat ini.Â
"Selamat sore, Pak Karni," Filsuf segera menyapa saat bertemu Pak Karni. "Oh, sore juga, Tuan. Saya pikir Tuan tak jadi kemari karena mendung begitu tebal," Pak Karni menyalami Filsuf Tua.
"Kan saya sudah janji," ujar Filsuf sembari terkekeh, kebiasaannya. "Baik, terimakasih atas keteladanan prinsip Tuan."Â
'Omong-omong, kok sepi ya. Biasanya hampir setiap sore rumah bapak dipenuhi kerabat dan keluarga, apalagi Minggu sore seperti ini. Apa karena mau hujan ya ?"
Wajah Pak Karni berubah sendu. "Bukan karena mau hujan, Tuan, tapi hari-hari saya sekarang yah, seperti ini, sepi, hanya ditemani istri tercinta. Tidak seperti dulu lagi, saat saya masih menjadi pejabat. Tak lama sesudah saya pensiun, kerabat dan keluarga yang biasanya berbondong-bondong kemari, menghilang satu persatu."
Sang Filsuf mengangguk-anggukkan kepalanya, "Saya belajar satu hal dari kenyataan ini, Pak Karni."Â
"Apa itu, Tuan ?" bertanya Pak Karni dalam nada penasaran.
"Ternyata keluarga dan kerabat Bapak yang selama ini datang berkunjung sesungguhnya bukan mengunjungi Bapak !"
"Jadi mengunjungi siapa, Tuan ?"
"Bukan mengunjungi siapa-siapa, tetapi mengunjungi 'kehormatan' Pak Karni. Maka di saat mereka anggap kehormatan itu tidak melekat lagi pada diri Bapak, mereka bahkan seketika menjadi amnesia atau malah demensia, tak tahu lagi jalan ke sini ..."