bully teman-temannya. Seiring bertambahnya usia, kepribadian Amel semakin terpuruk. Cukup banyak orang membantu Amel, termasuk saya dan Istri, siapa tahu dia mampu 'keluar' dari perkembangan kepribadiannya yang terpuruk itu.
Saya dan Istri menganggap Amel seperti anak sendiri. Gadis ini memang pemalu sejak kecil. Di bangku sekolah dasar hingga sekolah menengah, Amel sering di-Amel juga berupaya sekuat tenaga, sekuat tenaga seorang berkepribadian introvert. Sekuat apapun Amel tapi toh dia tak berhasil menanggapi semuanya secara lebih positif dari apa yang mampu dilakukannya sekarang, yaitu bertahan! Amel bertahan sebagai gadis pendiam, sangat tertutup, tidak berani menonjolkan diri sama sekali, bahkan bakat-bakatnya ia kubur dalam-dalam. Para gurupun tidak cermat dalam menemukan bakat-bakat Amel, apalagi membantunya bertumbuh. Sampai hari ini Amel bertahan dalam kepribadiannya yang 'gelap'. Syukurnya Amel tidak depresi berat hingga berpikir mengakhiri hidupnya sendiri! Amel adalah contoh amat nyata betapa bully atau perundungan itu bisa berdampak sangat amat buruk!
Malam ini Amel datang ke rumah saya menyampaikan niatnya untuk menikah. Sungguh saya dan Istri terkaget-kaget saat dia mengutarakan keinginannya itu. Bukannya kami tidak gembira  tapi kami tidak menyangka Amel akan menikah secepat ini. Secepat ini? Ya, karena kami tidak pernah mendengar Amel pacaran. Atau kami memang tidak mengetahuinya? Mungkin saja karena kami toh tidak mungkin tahu semua!
"Kamu akan menikah dengan Wilfried?" saya mengulangi menyebut nama yang diucapkan Amel tadi, nama 'calon suami'nya. Saya berupaya keras menyembunyikan rasa kaget saya, "Wilfried siapa ya, Mel? Saya tidak pernah dengar ada nama Wilfried di kota ini." "Oh, eh, Wilfried itu warga negara Canada, Dok." "Wow, mantul, Mel," seru Istri saya bersemangat, "kalian kenal di mana?" Amel tersipu sembari menyahut,"Di fb, Bu. Kami baru kenal tiga bulan yang lalu. Tiga minggu yang lalu dia melamar saya." Kali ini saya tak mampu menyembunyikan keheranan saya, "Sudah pernah bertemu?" "Sudah empat kali, Dok." "Baru empat kali ya, Mel," ujar saya mengingatkan Amel. "Ya, Dok, baru empat kali." "Dan pertemuan empat kali itu cukup menjadi alasan untuk menikah? Maaf kalau saya lancang, Mel."
Mungkin Amel menyesal mendatangi kami. Mungkin juga Amel gusar karena saya terkesan ingin menghalangi rencana pernikahannya. Tapi menurut saya, jauh lebih baik begitu daripada saya membiarkannya menyesal seumur hidup karena pernikahan yang sangat tergesa-gesa ini, walaupun mungkin juga tidak. "Dokter dan Ibu 'kan tahu siapa saya," Amel berucap dengan nada lirih, "saya tidak pernah percaya diri walaupun banyak orang mendorong saya termasuk Dokter dan Ibu. Sampai usia segini tidak ada pria yang mau mendekati saya dan sayapun tidak berani mendekati mereka. Apa saya harus terus begini, Dok? Semua teman saya udah pada menikah, saya kapan ... ?" Saya tertegun mendengar penuturan Amel. Istri sayapun tampak trenyuh. "Di fb saya berkenalan dengan Wilfried. Dia tanya alamat rumah saya. Tiga minggu yang lalu dia datang, menyatakan cinta pada saya dan langsung saya terima. Semua begitu tiba-tiba. Apakah ini salah, Dok?"
"Kok begitu tiba-tiba, Amel?" "Yah, mumpung ada yang mau sama saya, Dok. Gimana kalau nanti nggak ada yang mau nikahi saya? Saya tak bisa membayangkan jadi pratu, Dok." "Maaf ya, Mel, daripada jadi janda?" sayapun kaget dengan kata-kata saya sendiri. "Uh Dokter, jangan harapkan yang begitu dong, Dok." "Kami pasti mendoakan yang baik-baik untukmu. But, keputusan 'aji mumpung'-mu itu tidak tepat, malah riskan!
"Tapi, Dok, 'kan dia mencintai saya!" "Kau tahu pasti dia mencintaimu? Kau sudah kenal baik dengan keluarganya? Siapa tahu dia punya istri dan anak di negaranya? Dan masih banyak pertanyaan lain yang sebenarnya perlu kaujawab sebelum buat rencana ke pelaminan, Amel." "Jadi, gimana dong, Dok?" "Coba kaupikir dan temukan sendiri jawabanmu, sebelum semuanya sungguh  terlambat!"
Sampai sekarang, enam bulan berlalu, undangan pernikahan Amel tidak pernah 'singgah' di rumah kami. Amel membatalkan rencananya? Atau meneruskannya tanpa setahu kami? Ada yang tahu???
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H