Saya sedang duduk santai bersama Istri dan Anak semata wayang di ruang keluarga saat telepon genggam berdering. "Selamat sore," saya menjawab panggilan telepon. "Sore Dok. Kita bisa ketemuan sekarang ya!" saya hapal suara ini, suara Pak Darno. "Kok gelisah gitu suaranya, Pak. Ada apa?" "Pokoknya penting, Dok. Saya ke rumah Dokter sekarang ya," Pak Darno langsung mematikan hp-nya sebelum saya sempat menjawab.
Tanpa basa basi seperti biasanya, Pak Darno langsung duduk di kursi taman belakang rumah kami. Pak Darno memang sangat suka duduk di situ kalau ngobrol dengan saya. "Ada apa, Pak Darno?" tanya saya sesaat setelah Pak Darno duduk. "Santi hamil, Dok!" "Hah?" bokong saya seakan terbang dari kursi, "maaf, Pak, kapan nikahnya? Apa saya nggak dikasi tau ya?" "Itulah masalahnya, Dok. Jelas dia belum nikah. Dia 'kan kuliah di Chicago, diwisuda minggu kemarin. Eh, begitu pulang langsung ngaku ke saya, dia hamil. Pengakuan jujur Santi itu lho, bagaikan petir di siang bolong, Dok. Putri semata wayang yang saya bela-belain kasi kuliah di Chicago, pulang-pulang bawa kabar seperti itu. Masih untung kuliahnya udah kelar."
Singkat cerita, Santi dinikahkan dengan Hans, pria yang menghamilinya. "Cinta atau nafsu, Hans?" saya menanyai Hans terus terang pada suatu waktu. Hans menjawab tanpa beban, mungkin sudah puas diceramahi Pak Darno, Ayah Santi, "Nikah 'kan untuk seks, Dok. Apalagi suasana di Chicago menghanyutkan. Ya, terjadilah semua itu." Hans melanjutkan, "Awalnya ya takut-takut juga sih. Tapi kami mengulang dan mengulanginya hingga Santi berbadan dua. Tapi aku pikir nggak papa sih, 'kan kami akhirnya akan nikah juga!" "Tapi, kau pria jentelmen, Hans, mau bertanggung jawab." Kali ini Hans tersenyum, malu kali.
"Apa salah ya, Dok, kalau nikah itu karena seks?" Hans bertanya tiba-tiba. Saya berpikir sedikit keras untuk menjawab dengan tepat, "Dijawab dong, Dok. Apa itu salah?" berondong Hans. Dilematis menjawab Anak Muda yang menggebu-gebu ini. Akhirnya saya berujar, "Masalahnya bukan pada salah atau benar, Hans. But, kamu pernah mikir kalau tiba-tiba karena suatu hal kamu dan Santi nggak bisa nikah? Kamu mikir nggak, gimana dengan Santi? Atau, kalau kalian nikah hanya atas dasar seks, mikir nggak, suatu saat nanti mungkin kalian nggak bisa enjoy sex like now? So, pernikahan untuk apa?" "Weleh Dokter. Suatu saat nanti itu masih lama. Nggak perlu dipikirin now,"
Saya berdiskusi panjang dengan Hans, bermaksud membantu pemurnian motivasi pernikahannya, walau sudah terlanjur. Seks harus ada dalam sebuah pernikahan tetapi tidak boleh menjadi alasan utama membangun mahligai rumah tangga, tidak boleh menjadi satu-satunya 'garam' dalam pernikahan. Karena kedua pasangan pasti akan menua, bila sempat, dan cepat atau perlahan, seks bisa saja menjadi hambar. Jika 'garam yang namanya seks' menjadi hambar, apalagi yang bisa memberi 'rasa' pada pernikahan? Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H