Oleh : Permaisuri Fatimah Azzahra
"Hujan tak pernah salah ketika dia menyeru kepada Bumi untuk  bersabar tapi apa itu definisi salah dan benar? Bahkan titik temu diantara keduanya pun sangat samar. Bumi merindu Hujan, selalu, setiap saat tak ada yang ia indahkan selain kicauan rindunya yang kian memekakkan. Bumi masih menunaikan tugasnya hanya karena sebuah keharusan, dia sebenarnya sudah sangat lelah. Kemarau yang kini menjadi pemilik Bumi merasa tak enak sebab harus menjeda pertemuan antara Hujan dengan Bumi, tapi Matahari enggan untuk peduli. Bumi semakin lama semakin mengeras, kehidupan semakin tercekik, Kemarau sudah tak tahan, ia ingin segera pergi dan menyudahi penderitaan Bumi namun Matahari tetap pada pendiriannya, Bumi tak dapat melawan sebab dia tahu tanpa Matahari dia bukanlah apa-apa, keseimbangannya harus tetap dijaga. Meski sisa-sisa Hujan masih tersimpan di dalamnya namun rindu untuk menemuinya secara langsung tak dapat digantikan oleh apapun. Bumi pun semakin mengeras, rindunya kian destruktif, ia mengguncang dirinya, pilar-pilar penyangganya hampir runtuh, Bumi sudah tak tahan. Ia merindukan Hujan."
Aina menutup bukunya perlahan, tersenyum simpul kepada Jalu yang masih senantiasa memandanginya dengan sorot takjub. Kisah bumi dan hujan yang menggantung itu menimbulkan tanya dibenak Jalu tapi kecantikan Aina menutupi tanya diotaknya.
"Sudah selesai, Jalu. Kenapa masih memandangiku seperti itu?" Aina akhirnya angkat suara setelah hampir setengah jam dipandangi dengan sorot penuh arti pemuda di depannya.
Ranu Jalu, pemuda itu kemudian mengambil buku tulis yang dipegang Aina, berisi belasan karya cerita pendek milik gadis itu, dia membukanya dan membaca lagi kisah yang baru saja dibacakan oleh Aina.
"Aku suka kisah ini, Ai. Tapi apa definisi salah dan benar menurutmu?" Jalu menutup buku ditangannya dan kembali menatap Aina dengan penuh arti.
"Entah." Aina tertawa renyah, Jalu ikut tertawa. "Jawab betul-betul, Ai." Kini wajah Aina nampak berfikir dan Jalu masih memandanginya seakan seisi dunianya ada di sana.
"Salah dan benar tidak sungguh-sungguh punya dasar, Jalu. Apalagi dalam pemikiran manusia, kita hanya mengatakan benar sesuai fakta lingkungan yang telah ada atau hanya sesuai apa yang kita rasa dan pikirkan, tanpa tahu pasti apa yang mendasari sesungguhnya. Banyak alasan dicari-cari untuk mendapatkan kesimpulan yang dianggap paling tepat tapi lebih banyak lagi alasan dicari-cari untuk membantah hal yang dianggap tepat. Benar atau salah bukan hitam atau putih yang mudah dibedakan, seringnya mereka tertukar tempat." Aina menyudahi ucapannya dengan meraih bukunya dari tangan pemuda di depannya yang masih mematung mencerna penjelasannya.
"Sudah hampir petang, Mamak akan marah kalau aku tidak pulang dan terus mendongeng untuk anak orang kaya desa ini." Keduanya tertawa, Jalu mengantarkan Aina hingga ke ujung jalan setapak dan mengawasi gadis itu hingga sampai ke rumahnya, mereka telah berjanji akan bertemu lagi esok.
Jalu adalah anak orang kaya di desanya, seperti yang dikatakan Aina. Bapaknya memiliki bisnis di luar kota juga juragan tanah, sedangkan Aina hanya anak petani biasa yang bahkan orang tuanya sering gagal panen karena tidak dapat membeli obat hama, dia anak satu-satunya. Jalu dan Aina telah bersahabat sejak kecil, mereka tumbuh bersama karena Ibu Aina yang bekerja di keluarga Jalu, persahabatan mereka kian erat, pada masa sekolah menengah Aina tidak dapat melanjutkan pendidikannya dan akhirnya Jalu lah yang mengajarinya pelajaran-pelajaran sekolah, selepas pulang sekolah mereka akan bertemu di gubuk di tengah sawah dekat dengan rumah Jalu untuk belajar, tidak ada kata lelah untuk keduanya, Jalu senang mengajari Aina dan begitupun Aina yang selalu bersemangat mendapatkan ilmu pengetahuan. Hingga Jalu lulus SMA, dia masih mengajari sahabatnya itu, kebersamaan yang hampir setiap hari itu memunculkan suatu ikatan yang berbeda pada keduanya.
Tapi mereka berdua telat menyadari itu, setelah lulus SMA, Jalu melanjutkan kuliah di Ibu Kota dan itu tandanya dia meninggalkan sahabatnya, tak ada komunikasi terjalin hingga satu semester Jalu habiskan hanya fokus untuk belajar dan sesekali menahan rindu hebat. Liburan panjang menyapa, segera ia memesan tiket untuk pulang, pemuda itu dengan tas besarnya membawakan Aina oleh-oleh buku bacaan sastra banyak dari Ibu Kota, dia ingin memberi kejutan sekaligus menyatakan perasaannya, rangkaian kata sudah bersarang diotak seorang Ranu Jalu bahkan dia sudah memikirkan tempat dan waktu yang tepat dan seketika dia menginjakkan kaki di rumahnya, pemuda itu bergegas menemui sang gadis pujaannnya, mereka sudah berada di gubuk biasa mereka belajar dulu, masih terawat, Aina beberapa kali masih senang menghabiskan waktu di sini untuk sekedar menulis puisi atau cerita-cerita pendek.