Mohon tunggu...
Satya Permadi
Satya Permadi Mohon Tunggu... -

Lulusan Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Perlukah Pemblokiran Situs Internet Bermuatan Negatif?

15 Juli 2015   08:53 Diperbarui: 6 Maret 2018   10:49 653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: tumblr.com

Dalam praktiknya, pemblokiran situs sudah banyak diterapkan di banyak perusahaan untuk mengoptimalkan kinerja para pekerjanya. Ini tidak menjadi permasalahan bagi penggunanya karena fasilitas tersebut disediakan secara cuma-cuma untuk kepentingan perusahaan tersebut. Lalu, bagaimana jika pemblokiran dilakukan pada level ISP? Pada tahun 2014 kemarin, secara resmi pemerintah mengeluarkan kebijakan pemblokiran situs dengan melalui Permen Kominfo No. 19 tahun 2014. Kebijakan ini menuntut seluruh ISP untuk memblokir situs yang dirujuk oleh Kominfo. Pemblokiran situs yang dilakukan ISP dengan cara mengalihkan halaman yang dituju ke halaman peringatan.

Dalam perjalanannya, kebijakan ini menuai banyak mengalami pertentangan dari kalangan masyarakat. Salah satu alasan kenapa pemblokiran ini ditentang adalah karena semakin banyak ISP yang mengambil keuntungan melalui halaman peringatan dengan cara menyimpan berbagai macam iklan. Tentu ini sangat disayangkan karena pengguna ISP membayar mahal untuk dapat mengakses internet. Selain itu, kebijakan seperti pemblokiran situs ini membuka celah dikebirinya kebebasan mendapatkan informasi oleh pemerintah yang mana ini tidak sejalan dengan kehidupan berdemokrasi. 

Akses informasi yang diblokir adalah situs yang bermuatan negatif, seperti disebutkan dalam Permen Kominfo No.19 Tahun 2014 yaitu pornografi dan perbuatan illegal menurut undang-undang. Tujuan dari kebijakan ini memperlihatkan bahwa adanya keinginan pemerintah dalam mengambil peran untuk melindungi kepentingan umum dari potensi yang negatif dan merugikan dengan cara menutup aksesnya. Tidak ada pencapaian yang riil dari kebijakan seperti ini karena fokusnya hanya kepada menutup akses ke situs internet. Kebijakan ini tidak berorientasi kepada masyarakat yang diharapkan mengalami perubahan sikap moral ke arah yang lebih baik karena hasilnya akan melihat seberapa banyak situs yang diblokir, tetapi tidak melihat seberapa banyak orang yang mendapatkan efek positif dari kebijakan ini.

Dewasa ini, dinamika teknologi informasi sangat cepat berubah dan berkembang. Satu situs internet mati, ratusan lainnya muncul. Sudah menjadi rahasia umum jika pemblokiran yang dilakukan ISP dapat dengan mudahnya diabaikan hanya dengan penggunaan Public DNS. Maka, apa lagi yang akan diblokir? Public DNS-nya? Mungkin saja terjadi. Lalu nanti muncul metode yang lainnya, dan diblokir. Begitu seterusnya. 

Dan kebijakan ini hanya menghabiskan anggaran dengan sia-sia. Tanpa menutup mata, saat ini ketika pemblokiran situs sudah berjalan cukup lama, masih sangat mudah kita jumpai foto wanita telanjang di media sosial seperti Twitter, Facebook, Instagram, dll., dan bahkan hingga prostitusi, pemerasan, dan penipuan. Lantas, apakah media sosial tersebut layak untuk diblokir? Ya, menurut Permen Kominfo No.19 Tahun 2014 dan tidak, menurut Pasal 28F UUD 1945. 

Kembali Ke Individu 

Banyak yang beranggapan bahwa tindakan pelecehan seksual dan perkosaan merupakan akibat dari pelaku yang kecanduan pornografi, atau banyak perilaku anak yang menyimpang karena video game. Akan tetapi, apakah semua orang yang sering mengakses pornografi tersebut akan melakukan tindakan pelecehan seksual dan perkosaan? Atau anak yang sering melihat video game akan berperilaku menyimpang? Tidak juga. Sebetulnya yang menjadi letak permasalahan utamanya adalah bagaimana sikap seseorang setelah mengakses konten negatif tersebut. Di jaman yang semakin canggih ini, pengguna internet lah yang dituntut harus lebih bijak, teliti, dan kritis, dalam mencerna informasi. Bukan hanya sekedar tentang pornografi, tetapi penipuan dan pencurian informasi.

Pemerintah dalam hal ini tidak akan pernah bisa memblokir seluruh situs yang dianggap memiliki pengaruh negatif bagi pengguna internet, apalagi menyaring konten yang up-date sekian ribu foto bermuatan pornografi dalam hitungan menit di media sosial. Pemerintah juga tidak akan bisa mencegah terjadinya penipuan pada Forum Jual Beli dengan memblokir situs. 

Jika pemerintah ingin mengambil peran dalam hal ini, seharusnya bisa dengan cara memberikan sebuah wahana yang menarik yang dapat mengalihkan perhatian individu untuk mengakses pornografi seperti misalnya menyediakan situs cerdas cermat dan situs berupa forum web desainer, ilustrator, komikus, dll., yang dapat menyalurkan hobi individu tersebut. Atau menyediakan referensi dan panduan agar terhindar dari cyber crime. Kebijakan seperti itu akan lebih bermanfaat dibandingkan dengan kebijakan pemblokiran situs. Program internet sehat yang gencar dikampanyekan sebetulnya banyak sisi positifnya.

Kebijakan pemblokiran tersebut seharusnya ditujukan bukan pada level ISP, tetapi pada level pengguna akhir. Cara yang dilakukan Nawala adalah win-win solution karena memberikan keputusan penggunaan internet sehat langsung kepada pengguna akhir dan bukan pada ISP. Ini lah yang seharusnya pemerintah lebih beri perhatian karena program seperti ini akan mempermudah orang tua yang ingin agar adanya proteksi bagi anak dari situs yang bermuatan negatif. Arsip: Tumblr

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun