Mohon tunggu...
Muhamad Adib
Muhamad Adib Mohon Tunggu... Buruh - Wong Alas

Jadikan masyarakat desa hutan,nafas Pembangunan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tak Cukup Pendidikan Gratis

15 Desember 2020   13:20 Diperbarui: 15 Desember 2020   13:26 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belajar dari pengalaman menyelenggarakan Pendidikan Luar Sekolah yang saya lakukan pada tahun 1991 (Waktu itu masih SMA kelas 3) sampai dengan tahun 2003 ( Saat saya "menjabat" General Manager Kelompok Tani Hutan Argowilis) untuk anak-anak dan orang dewasa yang bertempat tinggal di desa -- desa pinggiran hutan, ternyata menyelenggarakan pendidikan untuk "mereka" tidak cukup hanya dengan membebaskan mereka dari biaya pendidikan. Pendidikan Gratis saja tidak cukup. Pendidikan untuk mereka harus di buat menjadi kegiatan yang menarik dan menyenangkan, unik, menghibur, memanusiakan dan yang tak kalah pentingnya adalah membuat proses pendidikan itu sendiri menjadi produktif. Menghasilkan ilmu, pengetahuan, ketrampilan dan juga menghasil uang. Sehingga mereka menikmati setiap tahap dan prosesnya.

Saya sering  menemukan anak yang tidak sekolah. Hanya lulus Sekolah Dasar. Orang tuanya miskin, orang tuanya juga tidak sekolah, bahkan buta huruf. Mengajak anak ini agar mau sekolah, sungguh susahnya minta ampun. Apalagi ketika si anak memiliki kemauan kuat untuk bekerja dan menghasilkan uang agar bisa membantu orang tua. Pas kebetulan orang tuanya juga menginginkan anaknya untuk segera bekerja. Menurut orang tua tersebut, saat anaknya sudah bisa membaca, menulis dan berhitung saja dianggap sudah cukup menjadi bekal untuk hidup. Hebatnya lagi si orang tua sudah merasa berhasil menjadikan anaknya berpendidikan hingga lulus Sekolah Dasar. Wong dia yang buta huruf saja merasa sudah bisa hidup. Soal miskin dan kaya itu urusan Tuhan. Tidak ada kaitannya dengan pendidikan.

Kasus lain yang sering saya jumpai adalah anak-anak perempuan dari keluarga miskin yang tidak sekolah. Lagi-lagi orang tua merasa sudah  cukup  anaknya menyelesaikan pendidikan di tingkat Sekolah Dasar. Dan kebanyakan (pada saat itu), anak perempuan yang lulus SD, cukup di rumah membantu masak dan atau menjadi pembantu rumah tangga di kota. Setelahnya, dua tiga tahun kemudian di nikahkan. Di desa (lagi lagi saya tegaskan "saat itu" perempuan menikah di usia 15 tahun sudah dianggap hal lumrah.

Bagi orang miskin yang pendidikannya rendah, bahkan tidak pernah mengenyam pendidikan (Sekolah) tidak berpendidikan bukan merupakan masalah. Masalah mereka adalah saat hari ini tidak ada yang bisa di makan. Masalah mereka adalah saat menjual 1 kg gula merah, uang hasil penjualan tidak cukup untuk membeli 1 kg beras. Masalah mereka adalah saat tetangga hajatan tidak memiliki beras atau uang untuk kondangan.

Beruntung saya memiliki pengalaman menjadi tutor dan penyelenggara pendidikan keaksaraan (Pembrantasan buta huruf) pada tahun 1991 -- 1993 bagi orang-orang dewasa  yang hampir semuanya adalah perempuan di kampung  (Waktu itu saya masih bujangan). Jadi, saya sedikit tahu bagaimana caranya "ngobrol" dengan orang tua yang buta huruf. Pengalaman lain yang juga sangat membantu adalah saat saya menjadi Penyuluh Lapangan Perhutanan Sosial (PLPS) di Perum Perhutani tahun 1993 -- 2001. Sebagai PLPS yang setiap hari melihat langsung kehidupan para petani hutan (Pesanggem) dan keluarganya, dan hampir setiap malam berkumpul dan berdiskusi dengan keluarga Kelompok Tani Hutan yang lagi-lagi mayoritas hanya berpendidikan setingkat Sekolah Dasar dan banyak yang buta huruf. Saya jadi cukup paham bagaimana cara mengajak mereka untuk mau menyekolahkan anak-anaknya.

Saya harus berterima kasih kepada Pemerintah yang membuka layanan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) yang sering di plesetkan oleh kawan-kawan menjadi Pendidikan Luwes Sekali betul betul bisa menjadi solusi dalam melayani masyarakat miskin untuk memperoleh layanan pendidikan. Anggapan sebagian orang yang tidak "mengganggap" Pendidikan Luar Sekolah, justru membuat saya dan kawan-kawan termotivasi untuk memberikan layanan Pendidikan Luar Sekolah Kelompok Belajar Pendidikan Kesetaraan yang "lain dari pada yang lain".  ( bersambung...)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun