Mohon tunggu...
Muhamad Adib
Muhamad Adib Mohon Tunggu... Buruh - Wong Alas

Jadikan masyarakat desa hutan,nafas Pembangunan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ngaji dari Fikri, Peramal Prabowo Jadi Menteri

2 November 2019   10:53 Diperbarui: 2 November 2019   11:11 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kisah Muhamad Askal Fikri, Santri dari Pekalongan yang tiga tahun lalu secara spontan menyebut nama Prabowo sebagai salah satu Mentri di Kabinet Jokowi saat ini menjadi viral kembali. Bukan karena jawaban Fikri yang kemudian menjadi sebuah kenyataan dengan di pilihnya Prabowo sebagai Menteri Pertahanan, tetapi juga kisah hidup Fikri yang "terpaksa" berhenti "ngaji".

Gus Yusuf (Pengasuh Pondok pesantren Tegalrejo) melalui akun twitternya membenarkan bahwa Fikri sudah tidak di pesantren sejak setahun yang lalu. Bukan hanya karena persoalan biaya tetapi lebih karena persoalan ekonomi keluarga. Fikri memutuskan untuk berhenti menuntut ilmu di Pesantren  karena ingin membantu perekonomian keluarga dengan bekerja. Fikri sudah bekerja selama satu tahun dan selama itu tak ada orang yang peduli dengan nasibnya.

Terpilihnya Prabowo menjadi Menteri Pertahanan di Kabinet  Presiden Jokowi, seolah memutar kembali ingatan banyak orang pada kepolosan sikapnya dan jawaban spontan saat itu, sehingga banyak orang yang baper (ingin tahu) bagaimana Fikri sekarang. Momentum ini menjadi berkah bagi Fikri. Orang terkaget-kaget dan kemudian bersimpati. Kondisi Fikri yang putus sekolah (ngaji) dan bekerja di usianya yang seharusnya masih belajar membuat Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo ikut turun tangan dan akan membantu biaya pendidikan Fikri sampai bisa menjadi Sarjana.

Fikri masih beruntung. Karena ada ratusan ribu anak-anak di negeri ini yang mengalami nasih hidup sama dengan Fikri. Putus dan berhenti sekolah karena factor ekonomi. Bukan hanya factor biaya pendidikan. Bagi Gus Yusuf dan banyak pengasuh pondok pesantren lainnya, menggratiskan biaya pendidikan bahkan biaya hidup keseharian (tempat tinggal dan makan) santri adalah hal yang sangat biasa. Bahkan tak jarang saat santri hendak pulang, sang pengasuh memberi uang untuk biaya transport pulang.

Sebagai salah satu pegiat pendidikan terutama di jalur pendidikan non formal sejak tahun 1990 sampai hari ini, saya berkali-kali menemukan permasalahan seperti yang di alami Fikri. Anak-anak datang dan berkata "kang, saya ijin berhenti sekolah, karena saya akan membantu orang tua" ada juga anak perempuan yang datang sambil menangi berkata "Kang, sebenarnya saya masih ingin terus belajar, saya punya cita-cita ingin menjadi guru... tetapi orang tua meminta saya untuk menikah agar bisa mengurangi beban keluarga" Mak Jleb rasanya...

Pengalaman lain yang tak kalah menyedihkan adalah pada tahun 2013 kami bersama temen-temen wong alas mendirikan  sekolah formal Madrasah Tsanawiyah di sebuah kampung di tengah hutan di Banyumas, pada suatu ketika ada sebuah surat dari peserta didik kelas 8 yang surat singkatnya berbunyi " Saya mohon ijin tidak masuk sekolah selama kurang lebih dua bulan, karena saya akan ikut saudara kerja kuli bangunan  di Jakarta...." Hikz hikz. Dan tahukah saudara-saudaraku di Jakarta yang dengan gampangnya menganggarkan 82 Milyar untuk membeli lem ?? di sekolah yang kami selenggarakan, tidak ada pungutan biaya apapun alias gratis tis tis tis...  sampai hari ini guru gurunya tidak pernah mendapatkan gaji sepeserpun.  Dan angkatan pertama dari 16 peserta didik hanya 4 yang tuntas belajar sampai lulus. 12 peserta didik lainnya putus di tengah pembelajaran. Yang laki-laki  pergi jadi kuli di Jakarta dan yang perempuan semuanya sudah menikah dan sekarang sudah momong anak.

Di berbagai kesempatan saya sering mengatakan bahwa pendidikan bagi anak-anak miskin tidak cukup hanya dengan membebaskan mereka dari biaya pendidikan.TAK CUKUP BELAJAR GRATIS. Pendidikan bagi keluarga miskin harus mampu beradaptasi dengan kemiskinan itu sendiri. Pendidikan bagi keluarga miskin juga harus di kemas menjadi pendidikan yang produktif.

Seperti Mas Ganjar Pranowo Gubernur Jawa Tengah yang tulus akan membantu membiayai pendidikan Fikri hingga menjadi sarjana, juga niat Pak Jokowi Presiden kita untuk membiayai anak-anak miskin dengan kartu Indonesia pintar kuliah, sejak tahun 2010, kami komunitas wong alas bertekad untuk memberikan layanan pendidikan dan biaya hidup gratis selama belajar dari tingkat menengah (Paket C) hingga kuliah dan menjadi sarjana melalui sekolah yang kami namakan Sekolah Kader Desa Brilian.

Alhamdulillah, sudah ada 7 anak yang menjadi sarjana dan 30 anak miskin yang saat ini masih kuliah di beberapa Perguruan Tinggi di Purwokerto tanpa Kartu Indonesia Pintar, tanpa anggaran rutin tahunan. Modal kami hanya mimpi dan keyakinan. Sambil berdoa dan berjualan sandal, juga memelihara ikan dan membuka warung makan.... Kami beruntung banyak kawan-kawan yang perhatian dan menjadi bagian dari perjuangan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dan anak-anak pinggiran hutan. Tanpa viral. Tanpa ikatan juga tanpa proposal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun