"Semua bisa dijelaskan. Tak seperti yang terlihat !" jelas Bayu.
***
Siska punya prinsip sama keras. Perjalanan menjadi indah. Ketika prinsip itu dihidupi. Indah untuk luka dan deritanya. Prinsip bahwa cinta adalah perjalanan. Bukan titik henti. Tahun itu yang membuat dekat. Secara perlahan, Bayu dengan keliaran. Membawa pelajaran, bersama tak haru sama. Tetap melangkah untuk lulus. Tujuan untuk hidup dengan mulus. Menikmati puisi di akhir pekan. Mungkin saja orangtuanya tidak setuju. Bergumul dengan hal buruk. Menemani langkah dengan senang. Itu bisa menjadi penenang. Hanya saja, plastik tetap berdatangan. Dari rumah ke rumah. Setelah mereka lewati dengan duduk berjarak di motor.
Bayu dan Siska bertatapan. Â Mata dengan mata. Tak ada air mata. Hanya kekerungan air bendungan. Tak ada tatap yang dalam seperti itu. Keyakinan usai. Tidak memerlukan penjelasan. Kata hilang makna. Sampah tetap bertebaran di mana-mana. Beranjak pergi mereka. Memilih jalan masing-masing. Tatap itu hanya penanda. Semua menjadi takdir yang sudah disetujui. Putus. Berpisah karena kekerasan. Tamparan kata dan realita. Sampah hati yang muncul kembali. Gambaran ingat akan masa lalu.
Siska menatap bendungan, tajam dan kejam. Tempat pertemuan dengan Bayu. Penuh dengan keliaran fantasi. Lemparan batu pertama. Itu jadi semacam janji. Pukulan untuk terus melangkah. Bersama dalam setiap pertanyaan akan masa depan.
"Bagaimana mimpi menjadi penulis setelah ini ?"
Tidak ada yang peduli. Hanya di tepi bendungan. Sampah berserakan. Bukan diambil. Sampah itu dijadikan inspirasi. Untuk menulis. Menopang setiap pertanyaan. Hanya saja, kata bersama akan tetap menjadi kata pisah. Tanpa tindakan terdengar dari kejauhan. Sayup dan pasti, setelah Bayu pergi. Siska menjelma dalam sampah. Berada di tepian pilihan hidup. Tak diharapkan. Sama seperti kenangan.
***
Demi tetap berdamai. Siska memilih tetap di bendungan Tirtonadi ketika sore. Memesan minuman, lalu melamun. Dalam lamunan, apa saja bisa muncul. Kepul rokok dan tawa lelaki dibiarkannya. Hanya pada pohon Siska berharap. Bayu bisa kembali, untuk dipukuli. Sebagaimana dulu dia dipukuli. Dicekik, seperti tiap janji yang hanya janji. Pada pohon, Siska membawa angannya. Andai pohon itu banyak. Teduh terasa di tepi bendungan. Hanya saja, dalam tanaman pohon yang lain. Apakah menanam itu sama dengan memberikan kesempatan kedua ? Pohon perlu disiram. Itu perlu air. Di mana air ketika kota penuh dengan deru kendaraan ? Apakah di antara pohon itu, Bayu tersenyum. Merasa menang atas permain yang dibuat Siska. Untuk tidak bergantung pada kata. Untuk terus melangkah dan alih-alih mengutuki kota, Siska menjelajahinya. Tetap menjadi tepi bendungan, tepi kenangan, dan tepi harapan untuk hidup. Menata kembali simpul kacau, untuk peduli.
Praon, 23 Agustus 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H