Opini Yudha Adi Putra
 Setiap berjalan menuju pintu masuk museum, saya diperhadapkan dengan pertanyaan sederhana. Pertanyaan tentang apa yang ada di museum. Kali ini, ketika di Museum Sandi, saya menjumpai kegiatan dilaksanakan di halaman museum. Ada diskusi dan perkumpulan yang membahas puisi.
 Puisi dan museum, tentu hal yang jarang terpikirkan. Tapi, pembacaan puisi di Musesum sandi adalah salah satu obyek unggulan. Saat sore hari, ditemani musik dan jajanan angkringan, tentu membuat nuasa romantis tersendiri. Semakin malam, mereka yang datang semakin ramai. Bisa dari mahasiswa, pemuda yang mencari kerja, dan penulis yang baru memulai kariernya sebagai penyair. Siapa saja bisa datang. Suasana memang jauh dari kata meriah, tapi cukup untuk membunuh waktu menanti malam tiba.
 Para pengunjung museum menjadi heran, museum tidak tutup layaknya jam pegawai pukul empat sore. Terpintas di benak mereka, beberapa kegiatan yang mungkin dilakukan di museum. Bisa jadi, foto pernikahan dilakukan di museum juga. Museum menjadi dekat dengan masyarakat. Bukan hanya menjadi tempat penyimpan koleksi lama saja. Tapi, menjadi bagian dari masyarakat dalam menjalankan dinamika kehidupan.
Saya memperhatikan kegiataan yang berlangsung di sore hari itu, hingga tiap gelak tawa muncul sebagai implikasi dari perkenalan. Kesenangan menikmati waktu sore di museum itu berubah menjadi pertanyaan, terlebih ketika menyadari apa sebenarnya fungsi museum. Mungkin, bentuk inovasi dan perkembangan pemanfaatan museum menjadi tuntutan zaman juga. Museum kian menarik dan mendekatkan diri dengan masyarakat. Tidak melulu tentang koleksinya, tapi kegiatan yang dilakukan di museum.
Pada kesempatan berkunjung di museum lain, selalu ada inovasi dalam menarik perhatian masyarakat, bahkan hingga perubahan pemanfaatan lahan museum. Perasaan menyenangkan dimunculkan dengan berbagai kegiatan kekinian. Meski, ini menjadi pertanyaan mengenai obyek koleksi. Segala kegiatan di museum bisa saja menjadi ajang promosi. Tapi, tak dapat dipungkiri bisa juga mengasingkan koleksi museum dari pengunjungnya. Jadi, malah memunculkan museum tanpa obyek koleksi. Ini menjadi identas termasuk di dalamnya perasaan masyarakat terkait dengan museum.
Salah satu poin pentingnya adalah bagaimana memandang museum dengan keberadaannya sebagai wahana edukasi masyarakat. Tema-tema edukasi perlu dimunculkan. Museum tak hanya menjadi tempat penyimpan koleksi dan tempat kegiatan. Tapi ada kesempatan mengedukasi. Argumentasi ini tentu dibangun berdasarkan alasan minat kunjung museum. Bukan hanya tentang edukasinya, tapi pada kondisi kultural masyarakat. Di mana, ada perasaan, pikiran, bahkan nilai hidup dalam masyarakat. Itu semua menjadi rekam jejak dalam museum, berdasarkan aktivitas komunal mereka dengan museum.
Ketika berada di museum, pameran akan obyek museum tentu menjadi hal yang biasa. Namun, ketika itu menjadi jawaban atas keterasingan museum dari pengunjungnya maka ada kesempatan untuk menjembatani fungsi edukasi. Melalui upaya edukasi, ada ajakan untuk memahami museum bukan hanya sebagai tempat.Â
Tapi sebagai identitas dalam bermasyarakat. Itu karena dalam museum memiliki deskripsi serta obyek yang merepresentasikan peradaban masyarakat. Secara kritis, menelisik kembali, mau seperti apa dan dikenal seperti apa dalam masyarakat. Itu juga berdasarkan keberadaan museum. Museum menegaskan kembali, di mana ada kepentingan dalam masyarakat yang turut mempengaruhi pengetahuan yang boleh diizinkan diketahui secara umum.
Pemaparan itu menjadi proses yang membutuhkan kepekaan terhadap isu yang terjadi dalam masyarakat. Ada harapan, tantangan, dan krissi dalam masyarakat. Itulah yang mengisi dinamika dalam pemanfaatan musesum. Ada kepekaan dan tanggung jawab.Â