Ya Allahku Mengapa Kau Tinggalkanku ?
Tulisan Yudha Adi Putra
Langit saja bisa berubah, apalagi manusia. Kalimat itu terus berulang sebagai sapaan di telinga Rudi. Setelah kekecewaan karena kehilangan. Kini, banyak kawan mulai meninggalkan dirinya. Kesepian perlahan menjadi teman. Tanpa sapaan, setiap sudut rumahnya mulai menyimpan tempat untuk menangis. Bukan hanya ditemani teh manis, tapi dengan kesedihan yang tidak pernah habis.
"Kawanku membawa kabar sukacita masing-masing. Aku berjalan dalam lorong sunyi. Memungguti perlahan setiap pencapaian. Merekam jejak harapan tanpa henti," ujar Rudi.
Prak !!
Suara pukulan terdengar. Kini, pintu rumahnya pecah. Ada serangan berdatangan. Serangan pemburu yang salah menepi. Menawar harga kayu dengan cukup murah. Bercerita dengan Rudi memang membawa penyesalan. Tiap malam, ada saja hal untuk dipikirkan.
Malam berlalu dengan perasaan cemas. Esok tidak dimengerti lagi. Kini, hanya perlu diyakinkan bahwa tiap langkah tidak dihadapi dengan sendiri. Ada pilihan untuk terus melangkah. Menepi dari setiap pencapaian fana. Bisa saja, itu memutuskan perjalanan hidup.
"Kita tidak pernah mengendalikan perasaan orang lain. Iri hati itu bisa saja berdampak dalam hidup. Membuat setiap pertemuan menjadi percakapan sombong. Sakit hati dan kesepian atas campuran pencapaian harus dihentikan, perlahan saja. Tenang dan menghindar," ujar Rudi yang mulai kesal.
Pemburu memang selalu berburu. Tanpa tahu ekosistem yang mulai terganggu.
Permintaan maaf muncul lagi. Berulang seperti sapaan. Sudah tanpa arti. Pencapaian akan hidup menjadi perjalanan yang ditandai. Tidak semua akan senang. Bisa saja, ada hal yang perlu untuk dihindari. Tetap untuk terus berjalan.
"Sudah sampai mana hidup ? Tiap perjalanan memang menawarkan tumpangan untuk terus menuju tempat yang diinginkan. Bukan tentang tempat saja, tapi penempatan akan rasa," ujar Rudi.