Celana Biru Baru
Tulisan Yudha Adi Putra
Jam tujuh bangun, mendapati teriakan demi teriakan. Entah, apa yang ada dalam pikiran Asep. Hanya Arif saja yang diminta untuk pergi. Pertama, anak itu datang untuk membeli telur asin. Harga berbeda dengan kesepakatan. Hanya selisih lima ratus. Tapi, itu membuat perasaan bersalah. Bukan karena tidak membantu sebagai tetangga. Tapi, tentang pola pikir tidak ada yang bisa mengajari. Semua bebas menentukan.
"Setelah ini mau membeli rokok dulu. Sudah dapat telur asin untuk makan. Itu lumayan, tambah rokok dan es teh," ujar Arif sudah mulai mempersiapkan tujuan.
Langkah diteruskan menuju warung rokok. Tak banyak rokok yang dibeli. Hanya sebatang rokok yang dibeli dengan sisa uang setelah beli telur asin. Tidak lama, hanya sebentar saja.
Bukan masalah beli rokok. Tapi, kenapa harus beli rokok. Bukannya bisa untuk makanan yang lebih bergizi lagi. Perjuangan memerlukan asupan nutrisi melebihi telur asin saja. Itu menyebalkan. Perubahan pola pikir sulit terjadi. Kenikmatan rokok masih saja menjadi hambatan. Seolah, tanpa rokok itu sulit untuk dijalani.
"Ada perbedaan sudut pandang. Langkah demi langkah menjadi tindakan. Bisa juga, setiap apa yang dilakukan itu berdampak pada kepentingan perokok. Misalnya saja, meminimalisirkan uang untuk makan dan hiburan. Semua biar tetap bisa membeli rokok dan kopi," ujar Asep.
Belum sempat menikmati rokok dan kopi. Ada saja halangan muncul menghantui. Seolah, halangan itu juga menjadi peringatan. Untuk tetap makan yang sehat dan berolahraga. Tentu saja, menghindari kopi dan roko. Bukan untukn makanan rutin saja. Itu hanya selingan. Namun, itu bukan persoalan mudah.
"Kebiasaan telah membentuk cara pandang. Terbiasa dan sudah menemukan nilai dalam pandangan rokok dan kopi tentu akan semakin sulit. Perasaan enak yang lain akan terabaikan, belum lagi itu hanya dianggap sebagai hambatan saja," ujar Asep.
Asep tak berani banyak komentar. Hanya mencatat celana biru baru yang diperolehnya. Tampak masih baru. Belum terpakai lama hingga bisa saja itu menjadi tunjangan atas kehidupan yang lebih baik lagi. Bukan tentang celana biru yang dipakai. Tapi, ada apa di balik celana biru itu. Tentu, kepentingan bermunculan.
"Biar orang merasa ada perkembangan dalam hidup. Kadang, orang itu mau tahu saja apa yang menjadi kemajuan kita. Kalau tidak mendapatkan informasi untuk dibicarakan. Bisa saja perasaannya menjadi hampa. Selalu ingin tahu tentang orang lain adalah gerakan perubahan," ujar Arif yang setelah ini ingin berteriak. Entah, untuk keluhann atau perjuangan.