Plastik dan Botol
Tulisan Yudha Adi Putra
Dia yang berjanji datang justru kehilangan jalan. Begitu menjadi awal. Sebelum ditulis lebih lanjut. Pertama tersapa adalah tukang jaga. Orang senang menyebut dengan satpam. Kelompok manusia berseragam pecinta rokok. Menjaga pagi dengan senyuman. Menikmati setiap pertanyaan. Hidupnya juga menjadi titipan barang kehilangan. Sumber informasi terpercaya, tentu karena mendapatkan kuasa.
"Lokasi auditorium di sebelah mana ya, Pak?" pertanyaan terlontar dari mulut Jarwo. Posisi tetap berada di motornya. Tetap berpandangan ke arah Timur. Menikmati matahari yang sedang perlahan terbit. Kendaraan memang mulai banyak. Percakapan pagi dan tentang mimpi terjadi.
"Nanti lurus saja, Mas. Terus, belok kiri. Parkir di sebelah utara. Sudah ada yang jaga," begitu jawab lelaki berseragam biru. Dengan cepat, Jarwo memacu kendaraannya. Melewati tempat sebagai impian. Tempat untuk terus mendambakan harapan.
"Aku tidak mengerti apa yang akan dibicarakan di sini. Tempat nampak megah. Memberi kesan ini seram dan berkuasa. Memang, bentuk menjaga wibawa bisa saja dilakukan," ujar Jarwo mulai melangkahkan kaki. Menikmati anak tangga pertama, Jarwo teringat tentang selokan. Selokan panjang yang dilalui ketika berangkat. Selokan penumpuk kenangan.
Kenangan Jarwo tentang selokan selalu bergantian. Melangkah di tepiannya, menikmati dengan bersepeda, bahkan mengumpat di sana. Tenang, selokan selalu menjaga wibawa. Tetap sama alirannya hanya bertambah keruh.
"Sampah. Itu masalahnya, sampah yang memenuhi selokan. Menjadi suguhan pemandangan indah. Wacana tentang sampah tapi ramai. Namun, kenyataan memiliki pandangan lain. Tidak ada fasilitas tentang tempat sampah. Bisa jadi, sampah itu muncul dan menumpuk karena kerinduan," ujar Jarwo sambil menatap tukang pel.
Tukang pel asyik melukiskan kain pel di lantai. Memberi sapaan singkat. Tak mau terlibat dalam percakapan. Setiap tukang pel diberi pendidikan. Untuk tahu diri. Untuk bersabar.
"Memang setiap langkah akan berjalan dengan penuh pilihan. Kalau saja bisa memilih, aku tidak mau jadi tukang pel. Menggosok lantai yang kalian injak setiap pagi. Ini kenyataan pahit," ujar tukang pel pada sebuah ruangan.
***