Lemper Bakar
Cerpen Yudha Adi Putra
"Berbicara itu mudah kok.. Yang sulit itu menjaga pembicaraan dan ketepatan yang dibicarakan sehingga tetap nyaman untuk didengar." -Perempuan berkain merah
Tentang kekhasan diri, tidak ada yang mengira. Bentuk nyaman dari diri bisa merugikan orang lain. Bukan hanya dibenci, tapi tidak nyaman namun terselubung. Percakapan meja bundar mengantarkan pada pesta makan siang. Sebelum piring beradu dengan meja, sudah waktu habis untuk duduk dan mendengarkan.
"Apa yang diperoleh dari pembicaraan tadi ?" tanya Jarwo pada lelaki di sampingnya. Berbicara dengan orang baru perlu kehati-hatian. Tidak hanya itu, ada kepekaan yang harus diasah.
"Hanya mendengarkan orang di samping. Terus, percakapan terjadi antara mereka. Menyebalkan sekali, seorang perempuan selalu menimpali. Kalau tidak direspon, pembicara takut tidak mendapatkan kesempatan. Mungkin juga, takut tidak mendapatkan hormat," ujar lelaki yang mulai mengambil kopi.
Tak ada tuduhan, perjalanan mendengarkan dilakukan seumur hidup. Mendengar untuk meneliti dan mendengar untuk berbicara. Tidak semua harapan perlu didengarkan, tapi dituliskan menjadi kata.
"Semua yang datang ke sini dengan banyak harapan. Mereka pejuang, entah makanan dan minuman, bisa juga kerajinan tangan. Tapi, tidak ada yang lain. Semua membutuhkan uang, semacam keengganan berujar," lanjut Jarwo pada sebuah perumpamaan sebelum masuk ke dalam kelas.
Bukan kelas perkuliahan, tapi pertemuan antar pengusaha. Kata pengusaha seolah seram, menandakan ada yang diusahakan. Pelaku bersama hidup yang lebih maju lagi.
"Orang akan berdampak pada kepentingan. Tidak hanya itu, menyingkirkan penghambat dan orang tak dianggap akan bermunculan. Muncul saatnya, era sebuah pergabungan. Tapi, dimulai dengan mendengarkan," ujar lelaki berambut putih.
Tempat duduk mereka saling berjajar. Menatap ke arah yang sama. Ada suara kecil, tidak hanya kedap suara. Ruangan mereka dibangun berdasarkan harapan akan masa depan. Ada sekat kecil, itu bisa ditutup dan dibuka.