Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mencari Revenge Porn

3 Juni 2023   23:09 Diperbarui: 3 Juni 2023   23:18 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mencari Revenge Porn

Cerpen Yudha Adi Putra

Cerita ini bukan tentang bentuk kekerasan seksual digital. Pembicaraan bukan dimulai dari Devie, sebagai praktisi literasi digital. Tapi, dadi Viede seorang pecandu alkohol. Lalu, Pangaribuan tidak hanya jadi marga di sini. Bukan dia, tapi tentang perjuangan seorang adik bernama Ila. Adik yang menemukan kakaknya selalu memakai narkoba. Konten dalam cerita ini tidak dibuat. Tapi, sudah ada dalam bentuk aksara. Menerkan dengan berbagai macam warna. Untuk terus bertanya. Kemudian, diubah dalam bentuk suara. Ia bernama Devy, seorang pencari kupu-kupu. Tidak disebutkan. Obrolan terbentuk dengan kegelisahan. Bukan saling menanyakan, tapi saling mengelisahkan. Tidak ada klaim kebenaran. Berlanjut pada senyuman, ada literasi digital.

"Untuk perjalanan panjang sore ini. Kumpul di tempat biasa. Tempat membawa banyak doa. Tidak boleh terlambat. Bisa menghambat perjalanan. Langkah tetap bermunculan. Kesepakatan ditentukan, hanya 17.30. Itu semacam pilihan yang bohong. Hidup akan terus berjalan, membawa ke arah lebih baik lagi. Nantikan saja, semoga waktu tidak berbohong," ujar Esy pada setiap bunga yang jatuh.

Pembenci bunga tidak tinggal diam. Penarik karcis menatap dengan haru. Belum sepenuhnya hilang, ingatan akan kehilangan.

"Mungkin, puluhan tahun kemudian. Tidak diperlukan lagi pemegang karcis. Sepi dan penuh pertanyaan, kemudian setiap karcis itu bisa ditukar dengan kebahagiaan. Mungkin, tidak seakrab dalam bentuk cerita. Tapi, kebahagiaan itu bisa datang dalam wujud ketepatan waktu. Minta untuk dihargai dalam bentuk baru. Menuliskan cerita sederhana, bukan dengan kata. Tapi, senyuman yang menggambarkannya," ujar Harma dalam bentuk nada.

Kelak, ruang lebih terbuka tentang hidup. Percakapan akan dalam. Waktu menunjukkan pukul 17.00 kian mendekati kesepakatan. Bukan tentang malam yang ditakutkan. Tapi, perubahan. Musim saja bisa berubah. Hujan bisa datang tanpa aba-aba. Semua membawa dadakan masing-masing. Kesedihan juga demikian. Menjadi nama lain dari setiap perjuangan. Untuk merasakan hening, orang harus mengakui dulu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun