Pertanda Merantau
Cerpen Yudha Adi Putra
"Jangan takut salah, Jar. Orang tidak akan ingat. Berganti hari, mungkin orang akan lupa. Bukannya malu, tapi kamu tidak sepenting itu. Bahkan, orang penting akan menjadi terlupakan. Setelah, ada hal baru. Suasana baru yang bermunculan. Bisa jadi, berdampak dalam hidup," ujar Handoko.
Memang, akhir- akhir ini Jarwo sering takut salah. Salah menghadapi kenyataan. Kesulitan untu berdamai dengan masa lalu. Banyak berandai, tapi minim beraksi. Kemarin saja, Jarwo menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian yang bukan karena dirinya. Rasa tidak nyaman, melampaui kenyataan itu bisa saja muncul.
"Bukannya takut. Aku tidak mengerti bagaimana melakukan kegiatan untuk memaknai hari. Semua terasa hambar. Bukan hanya itu, jalanan akan waktu bertambah sunyi. Nasib orang bisa beda-beda. Tindakan yang sama. Belum tentu mendapatkan hasil yang sama juga," balas Jarwo.
Sudah hampir bulan ke lima. Jarwo dan Handoko memulai usaha. Mulai dari memelihara bebek. Berjualan tempe. Semua dilakukan dengan sukacita.
"Entah kenapa ya, perasaanku tidak enak kalau kita menjalankan bisnis ini berdua. Apa mungkin kita perlu berbenah ? Menata kembali langkah demi langkah bersama impian. Kelak, setiap perjuangan bersama akan menjadi cerita. Bukan hanya itu, hidup menjadi kesempatan untuk bersyukur. Bertambah kesempatan, bukan berarti senang. Perjuangan masih perlu dilanjutkan," ujar Handoko.
Itu diucapkan karena tahu bisnis mereka akan bangkrut. Sudah sebulan bebek tidak ada yang bertelur. Mereka hanya minta diberi makan saja. Tidak mau mencari makan sendiri, meski sudah diberikan kesempatan oleh Jarwo. Tempe juga tidak laku, perjuangan mengetuk pintu demi pintu menjadi sia-sia. Langkah terasa mati. Gairah untuk hidup semakin menipis.
"Maksudmu, kita akan berpisah dengan tujuan bisnis masing-masing ? Bukankah ini semua idemu ? Menggabungkan modalku usaha burung hanya untuk bisnis kuliner tempe ? Bukannya kamu tidak senang kalau aku memelihara burung ? Lihat, pesaing bisnis burungku dulu tertawa, ketika aku memilih menutup usaha. Mereka mengira aku kalah dan sekarang, benar aku kalah. Bukan begitu ?" pertanyaan Jarwo itu mengusik Handoko.
Mereka saling diam. Tidak berani melanjutkan ucapan. Dalam hati, Jarwo ingin memperbaikki kehidupannya. Dalam tindakan, Handoko sudah berjuang mati-matian. Bahkan, untuk sesuatu yang rasanya bukan miliknya. Namun, perlu disadari bersama setiap perjuangan belum tentu memperoleh hasil sesuai yang diinginkan.
***
Sebelum mengalami kebangkrutan, Jarwo dan Handoko memiliki pekerjaan lain. Jarwo menjual burung. Handoko menjadi penjaga parkir. Mereka bekerja sama. Bertemu hampir setiap hari. Makan siang dengan menu yang sama.
"Bagaimana kalau kalian ini membuka usaha. Jadi, uangnya ditabung. Untuk sumber penghasilan lain. Mungkin saja, tidak akan sekuat sekarang. Perlahan, tubuh jadi lemah dan tidak berdaya," ujar pemilik warung sambil memperhatikan Jarwo dan Handoko mengusap keringat. Mereka seperti tidak makan selama berhari-hari. Meski kenyataannya, memang demikian. Bukan tidak mau makan, tapi tidak ada yang mau dimakan.