EsaiÂ
- UMKM dan Perempuan : Sinergi Mewujudkan Ekonomi Berkelanjutan --Â
Yudha Adi Putra
Krisis Lingkungan, Ekonomi Hijau, dan Perempuan Pelaku UMKM : Suatu Pengantar
#BersamaBergerakBerdaya #UntukmuBumiku
Saat ini, krisis lingkungan hidup menjadi isu yang menarik. Pada tahun 2022, Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) Indonesia mengalami kenaikan 0,97 poin dibanding tahun sebelumnya. Hal ini diungkap Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan pada Refleksi Akhir Tahun 2022 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang berlangsung secara luring dan daring, di Jakarta pada tanggal 29 Desember 2022.[1] Padahal, terdapat banyak kegiatan ekonomi yang terus berkembang. Itu semua turut mempengaruhi isu lingkungan hidup. Secara otomatis, perlu ada respon terhadap krisis lingkungan. Belum lagi, itu berkaitan dengan ketahanan pangan dan ekonomi. Terdapat banyak penyebab krisis lingkungan, pelaku UMKM turut terlibat. Bukan hanya karena proses produksinya, tapi pada dinamika UMKM utu sendiri. Untuk itu, menjadi penting untuk memiliki kejelasan terhadap risiko fisik dari UMKM. Risiko itu berkaitan dengan sampah. Sampah, terutama plastik menjadi persoalan. Data dari Making Oceans Plastic Free (2017) menyatakan rata-rata ada 182,7 miliar kantong plastik digunakan di Indonesia setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut, bobot total sampah kantong plastik di Indonesia mencapai 1.278.900 ton per tahunnya.[2]
Â
Krisis lingkungan tadi, dapat direspon dengan keuangan hijau. Akan tetapi, saya lebih senang menyebutnya dengan semangat hijau dan berkelanjutan. Ada apa ? Ini berbicara soal prinsip dalam kegiatan ekonomi. Sebagai refleksi, kegiatan ekonomi yang ada sering beroritentasi pada hasil. Terutama, penerapan prinsip ekonomi. Prinsip yang sudah dihafal anak SD sampai kuliahan. Di mana, kalau bisa dengan modal sedikit, tapi mendapatkan untung yang berlipat ganda. Penekanannya pada keuntungan. Tidak memperhatikan keberlanjutan lingkungan. Memangnya ada apa ? Tentu karena kita hidup dalam satu konteks yang sama. Hidup di bumi. Jadi, keresahan komunal perlu dibangun. Paling tidak, untuk menyadari dalam tindakan sederhana. Setiap kegiatan ekonomi, termasuk UMKM memiliki risiko pada lingkungan hidup. Aspek keberlanjutan ini perlu menjadi semangat, tidak hanya pada keuntungan saja.
Â
Data jumlah UMKM, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM), total UMKM di Indonesia tembus 8,71 juta unit usaha pada 2022.[3] Langkah awalnya tentu pada menyadari bahwa ada penyangkalan terhadap peran strategis perempuan. Seolah, bagaimana perubahan iklim dan risiko transisi iklim itu hanya persoalan pribadi. Mungkin, dianggap itu urusan pemerintah atau penguasa saja. Padahal, ada penyagkalan terhadap peran perempuan. Bagaimana bank sentral, turut menjadi pengaruh. Nilai yang dihidupi, itu perlu menjadi pendorong terhadap net zero emission. Merujuk pada ketahanan pangan dan ekonomi berkelanjutan, bank sentral dapat belajar pada kearifan lokal pererempuan. Belum lagi, ada kenyataan di mana perbankan menjadi dukungan utama dalam dinamika UMKM. Bank diharapkan jadi modal, tidak hanya itu menjadi semangat. Karena dalam kegiatan ekonomi, perputaran dalam bank sentral menjadi harapan. Tersedia atau tidaknya harapan untuk kegiatan UMKM, dapat didukung oleh Bank Sentral. Jadi, perannya tidak hanya pada tataran uang saja, akan tetapi pada perhatian sumber daya manusia. Untuk itu, perhatian pada peran strategis perempuan dapat diperhatikan.
Â