Sarapan
Cerpen Yudha Adi Putra
Burung lovebird berkicau, mungkin minta makan. Pagi belum begitu cerah. Tertutup mendung, semalaman hujan. Menyesal tak berjalan pagi, Jarwo menghadap sebuah kertas. Berharap tiap kekesalannya dilampiaskan. Jalan terasa sunyi, meski banyak orang mengantar anak sekolah.
"Pemandangan orangtua mengantarkan anak sekolah adalah harapan terindah kala pagi, begitu tulus. Bahkan, tiap pembelajaran dikerjakan dengan sukacita !"
Karena masih berkeringat, Jarwo mendengar ucapan itu dengan gelisah. Jaminan perasaan dibiarkan menderita. Pagi diusik dengan informasi. Bahkan, dari informasi yang sebenarnya kita tidak perlu tahu.
"Kita tidak perlu tahu banyak hal. Kalau itu semua justru memusingkan. Boleh memilih informasi, tapi juga memilah mana yang penting. Bukan egois, tapi tahu batas dan mengolah diri. Bukankah itu lebih mendalam,"
Berdasarkan pengalaman pagi itu, Jarwo ingin membuat mainan. Mainan di mana ia bisa melihat anak sekolah diantar oleh orangtuanya. Mungkin, semacam cerita dan anak dalam cerita dibuat Jarwo begitu gembira.
***
Kelak, untuk menikmati pagi diperlukan sarapan. Kata demi kata diolah, menjadi harapan. Menatap banyak keinginan yang redup semalam. Menahan diri untuk duduk sebentar, menuliskan kata dan menjadikannya realita. Bisa juga, menulis memberikan banyak warna.
Bukan perjalanan panjang, tapi kerinduan yang terpendam. Itu jadi motivasi Jarwo. Masa kecil dilalui tanpa diantar ke sekolah.
"Perjalanan pagi ke sekolah menjadi lumrah. Cukup melelahkan, bahkan panjang perjalanannya terasa amat biasa. Hujan rintik tidak terasa, paling tidak sengat matahari hanya ketika pulang sekolah !" ujar Jarwo membetulkan posisi sepedanya.