Jurnalis Visual
Cerpen Yudha Adi Putra
Kata kuncinya mungkin. Kata itu terucap berkali-kali. Seperti tidak sesuai dengan pengucap. Ada pedoman berkata mungkin. Mungkin terjadi dan berulang. Bisa ditebak. Membentuk pola cara berbicara. Menjumpai manusia, tentu bersama cara bicaranya.
"Tapi, bukankah setiap manusia unik ?"
"Mungkin. Menyebalkan sekali, berbicara demikian. Tapi, tidak sesuai. Katanya berubah jadi mungkin. Memang opini mana sekuat mungkin ?"
Tak masalah, perkataan tentang mungkin masih dicatat. Berlanjut pada tiap penjelasan. Sebuah ruangan khusus. Terbentuk kecil, mungkin menghadap barat. Bersama arah matahari terbenam. Masing dari peserta tak mendapat. Hanya mencatat, mengharapkan kesempatan. Terasa lama, jelas terjadi. Mungkin, dikatakan kembali.
"Pembicaranya ini pakar di bidangnya. Tapi, kenapa dia berbicara seolah mungkin ?"
"Memang berlindung di balik suara kebanyakan akan menenangkan. Mungkin,"
"Tetap saja, suara menjelaskan jadi dominan akan kata mungkin,"
Waktu berlanjut, selama satu jam ada banyak kemungkinan. Senyum sayu, seperti dibuat, mungkin tergambarkan. Perlahan, tiap penjelasan berubah. Ada opini bercampur aduk dengan fakta. Menimbang realita, menembus batas wajar untuk berkata mungkin.
"Sementara, penjelasan tetap seperti itu. Berjumlah delapan, membawa banyak peran. Membatasi diri untuk tidak berlebihan !"