Hadiah Lomba
Cerpen Yudha Adi Putra
Setiap usaha tentu mengharapkan hasil. Harapan akan hasil itu berdampak. Bisa membuat makin malas. Dapat juga menjadi semakin rajin. Meski kadang, ada usaha berharap ikhlas. Tapi, apa memang ada orang ikhlas itu ? Pengorbanan ikhlas ? Banyak tidak mungkinnya. Orangtua saja bisa menghitung untung rugi. Membicarakan hal yang sudah larut. Tak ada, ikhlas itu sangat tidak mungkin. Pasti ada harapan. Kalau harapan tak nyata, tak segera. Di situlah masalahnya. Ada satu prinsip dasar. Ketepatan waktu. Waktu harus tepat dalam berusaha dan mengharapkan. Bila dilanggar, kekecewaan akan bertambah. Bukan hanya karena tak sesuai, tapin tertunda.
 Sudah dua minggu lebih, Jarwo dipuji teman-temannya. Setiap bertemu di jalan. Berjumpa di tempat makan. Ada saja pujian baginya. Entah disebut penulis, pencerita, bisa juga kreator ide ulung. Semua pujian diterima Jarwo. Responnya hanya nyengir. Kadang, tifak tahu harus berbuat apa. Tak ada yang tahu. Betapa keringnya pujian itu.
        "Mereka hanya melihat dari luar saja, Jar. Jadi wajar, jika melihat kesenanganmu terus. Capaianmu terus. Jangan marah, kamu menampakkannya pada mereka. Ya tentu ada responnya, memang begitu kerjanya ?" ujar Handoko.
        "Tapi, tanpa alasan mendasar. Semua itu hanya akan jadi mekanis. Ada capaian terus dapat pujian. Pujian menjadi pemantik untuk mencapai. Menyebalkan bukan ?"
        "Belum lagi, orang mendekat dengan alasan. Alasan mencari muka. Biar mendapat lompatan. Itu memang hak mereka. Tapi, rasanya menggelikan," lanjut Haryo.
        Benar saja, waktu berjalan. Capaian demi capaian diraih Jarwo. Ada banyak kawan mendekat, Handoko mulai tahu diri. Kawannya itu, kini menjadi panutan banyak orang. Jarang sekali mereka bertemu. Tapi, rasa persahabatan tetap terjaga. Namun, siapa sangka utang terus berdatangan. Itu membuat Handoko butuh banyak uang. Sebagai pengangguran yang sukses, maka hidup tentu bergantung pada apa saja.
        "Benar saja. Sekarang, aku butuh uang. Apakah Jarwo mau meminjamkan uangnya padaku ?" tanya Handoko.
        "Belum tentu juga, aku tidak pernah tahu. Apa saja kebutuhan hidupnya, gaya hidupnya tetap seperti itu. Rasanya, dia tak banyak berubah. Semoga saja, berkenan memberikan aku uang," harap Handoko sebelum menemui sahabatnya itu.
***