Cerpen Yudha Adi Putra
"Aku tidak biasa terlambat. Waktu sangat penting. Tepat waktu ketika ada janji. Jangan menunda kalau ada pekerjaan. Apa yang diwajibkan. Itu kerjakan terlebih dahulu. Lalu, sungguh-sungguhlah memperhatikan," pesan itu diulang setiap pagi. Setiap duduk di meja makan. Kala berpamitan. Hingga Jarwo hafal betul. Bahkan, sebelum pesan itu berhenti. Jarwo sudah menundukkan kepala. Tanda setuju, tak mau berlama-lama mendengarkan.
***
Panggilan di pengeras suara sudah lantang. Ajakan anak desa untuk menuju suatu tempat. Tepat pukul empat sore mereka akan memulai. Entah berapa yang datang. Harus segera dimulai. Semacam pembiasaan. Tepat waktu dan tepat guna. Untuk itu, Jarwo juga berlarian. Setelah mencari sepatu baru. Tak mendapatkan yang diinginkan. Ia terus saja melangkah. Barangkali, sendal baru lebih baik dari sepatu. Kalau pakai sepatu, hujan bisa mengotori.
        "Sudah, aku kemarin berangkat terlambat tidak masalah. Untuk apa cepat. Nanti malah duduk di depan. Lama mendengarkan, bisa juga keluar paling akhir. Itu kalau makanan sudah habis," seru temannya Jarwo.
        "Tapi, aku belum terbiasa untuk terlambat. Semua janji aku tepati. Kalau terlambat, ada saja yang kurang. Mungkin semacam merasa bersalah. Tak bisa ditebus dengan apa juga !"
        Jarwo dalam bingung terus saja menatap lengannya. Tangannya masih terluka. Semalam, mereka bermain petasan. Tak sengaja, salah satu lemparan mengenai tangan Jarwo.
        "Kau jangan bilang ke orangtuamu kalau kena petasan. Bisa jadi, nanti tidak boleh bermain lagi," usul salah satu temannya. Anak berambut kribo itu seperti meyakinkan Jarwo. Bahkan, dia memberikan perban yang dibeli di samping rumah.
        "Ini sakit sekali !"
        Tak masalah, waktu terus berjalan. Mereka tetap saja janjian untuk bermain. Setiap ada panggilan suara, entah petasan atau motor. Anak-anak selalu saja siaga. Mereka mempersiapkan diri. Tak mau terlambat.