Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kemungkinan Minggu

19 Maret 2023   20:31 Diperbarui: 19 Maret 2023   20:34 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kemungkinan Minggu

Cerpen Yudha Adi Putra

                Terbangun dengan ledakan. Tatapan kucing orange mengejutkan. Kamar mandi dituju. Untuk menahan kencing, cukup lelah. Belum genap waktu bangun. Jam masih empat pagi. Hanya karena ledakan. Gempa terjadi. Begitu suasana pagi. Burung tak mau berkicau. Ayam memilih kembali berkokok. Bebek menahan telurnya. Bukankah keuntungan bisa didapatkan. Kalau saja, bebek bertelur lebih banyak.

                "Pagi ini mengejutkan sekali, ada apa ?"

                "Seperti suara bom. Untuk itu, kita cek saja belakang rumah. Mungkin maling kabur atau kucing yang malang terjepit ?"

                "Benar kedua, kucing terjepit !" Jarwo menahan tawanya.

                Pagi masih belum sempurna. Kebiasaan dilakukan. Catatan pada agenda. Tertunda pada pagi dingin.

                "Sebelum bangun, aku sebenarnya menahan kencing. Perasaan tidak nyaman tertahan. Mungkin aku lelah,"

                Pagi biarlah. Bentuk puisi dan catatan hidup. Karena bisa saja, pagi menjadi harapan. Nanti akan terjadi apa lagi. Pertanyaan terus bermunculan. Senyuman menjadi balasan. Entah akan ada apa, penuh tanya.

                "Kucing itu apa yang diinginkan. Semua berubah menjadi hidup ! Bahkan, sekarang harapan bermunculan,"

                "Makan dulu, Jar. Sudah terlalu jauh kamu berpikir. Mungkin saja, pagi ini saatnya beristirahat. Kata enggan dan bosan melanjutkan karyanya,"

                "Tak boleh bosan. Sekali berhenti, itu berarti mati. Lebih baik menulis tanpa arti. Namun, belum sempat itu semua jadi hujan,"

                Kepergian harus dialami. Berbaju baru. Adiknya Jarwo sibuk mencari sendal. Menyusuri rumah yang kian lusuh. Barang berserakan. Debu mudah ditemukan. Tak hanya pada kesepian pagi. Ini sudah berlanjut.

                "Tepat jam tujuh pagi. Kurang enam menit untuk persiapan ?"

                "Sudah siap berangkat. Kita akan menemukan jawaban. Kenapa ke gereja di antara kesibukkan ?"
                Mungkin, itu sudah saatnya berganti. Dulu, Jarwo rajin ke gereja. Karena skripsinya memusingkan. Ia menunda, bergantian. Kini, Ibunya membawa banyak doa. Doa menjelma jadi kata dan tindakan nyata.

                "Semoga cara ini meluluskan Jarwo. Tanpa tanda tanya, semua jadi rencana. Kita akan berbahagia meski banyak keinginan tertunda. Apa yang dinantikan ketika nanti pulang ?"
                Tentu semua butuh uang, tak ada kerinduan. Bahkan, untuk ke gereja. Jarwo menatap dan mengharapkan uang.

***

                Setiap perjalanan, dimulai dari tawa yang sama. Tawa itu menjelma jadi dukungan. Bisa saja, tiap tawa lahir dari luka. Bukan berarti, setelah tawa luka tak ada. Menatap hari demi hari. Semua terjadi begitu saja. Memilih kesempatan. Untuk mendapatkan cerita. Pagi kedatangan dua teman. Membawa kabar sukacita.

                "Semoga saja kita bisa dapat banyak keuntungan. Penjualan harus terus dilakukan. Untuk menatap sementara waktu. Kini, nikmati saja dulu !" jawab temannya Jarwo ketika ditanya soal harapan. Apa yang diinginkan selalu bergantung pada modal.

                "Mungkin kita bisa membobol ATM. Beramai, tapi tidak bisa dalam sepi. Kini, sulit sekali menatap saja. Banyak kecurigaan,"

                "Lumayan bukan. Bisa untuk modal memelihara bebek. Perlahan, senyuman harapan itu bisa dinikmati. Semacam telur dicari tiap pagi. Makanan bertambah dalam dambaan,"

                Sementara waktu berjalan, kata akan mendapatkan janjinya. Begitu realita, muncul seketika. Tak bisa dikendalikan. Pertama, ingin makan sup buah. Tapi, semua itu bisa berubah. Tak ada yang berdampak. Tempat ramai, Jarwo bosan dengan keramaian. Langkahnya mencari soto. Mungkin, dapat apa saja. Semacam mie ayam, bisa juga jadi senyuman.        

                "Setidaknya, berusahalah untuk tepat waktu. Tadi, bilang jam sembilan datang malah bertambah. Muncul banyak dugaan. Sekarang saja, terlambat datang dan terlambat pula untuk pulang !"

                Itu bisa saja jadi puisi, Jarwo malah enggan menuliskan. Ia membiarkan perasaanya campur aduk. Bahkan, ketika waktu terus berjalan.

                "Konin ini makanannya apa ? Kemungkinan Minggu jadi banyak tempat haru. Bertambah pula kerinduan, melambung,"

                Catat, setiap perjalanan perlu dicatat. Entah, menjadi latihan atau senyuman. Semua perlu dilakukan. Menatap perlahan, kita tak pernah kehilangan.

                "Jarwo kinanthi ing Gusti dalam laku sehari-hari. Jadi tanya, jadi misteri. Tak apa, semua hidup perlu dijalani. Bukan untuk dimengerti. Itu pengertian bisa saja mengikuti," kata Jarwo pada tulisan terakhirnya.

Godean, 19 Maret 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun