"Kemarin sepertinya jatuh, ada tikus berkejaran. Tiba-tiba, menjatuhkan jam. Mungkin saja, gara-gara itu jamnya jadi mati. Kata adikmu, itu pertanda buruk. Tapi, biarlah," lanjut Ibunya Jarwo.
        "Adik memang sudah berangkat ?"
        "Sudah. Sekarang sudah siang. Coba dilihat di ponselmu. Masa tidak tahu jam berapa. Kamu berangkat jam berapa ?"
        Tak ada jawaban. Jarwo melangkah pergi. Ditinggalkannya Ibunya yang sedang mencuci pakaian. Perlahan, Jarwo menatap ponselnya. Ada ketakutan ketika melihat ponsel. Sebuah notifikasi, tidak mungkin bisa lebih. Sebuah pesan. Pesan yang bisa saja merubah keadaan.
        "Aku lapar sekali, kenapa di rumah selalu tidak ada makanan. Jadi, adikku tadi belum sarapan ya ?" guman Jarwo. Ia seolah bertanya pada dirinya sendiri. Dilihatnya sekeliling rumah, penuh kenangan. Tapi, hidup harus berjalan. Ia pamit pada Ibunya, menuju ke kampus. Menepati janji.
***
        Jalanan macet, jam menunjukkan pukul sembilan kurang empat puluh. Bagi Jarwo, tentu masih cukup untuk ke kampus. Ia menatap pengamen, mulai menyanyikan sebuah lagu. Seseorang datang.
        "Sedekah, Mas. Kami belum makan," ucap seorang perempuan. Tatapannya memelas. Tidak cocok untuk menghiasi pagi. Pagi di antara semua menatap harapan. Pagi ketika anak-anak sudah berangkat ke sekolah. Perjalanan menuju pasar ramai. Semua menghiasi pagi. Rasa terburu-buru menggebu dirasakan Jarwo.
        "Saya juga belum makan !" jawab Jarwo ketus. Perempuan tadi pergi, senyumnya ditinggalkan. Perlahan, menuju pengendara mobil di samping Jarwo.
        Lampu menjadi hijau, semua berlomba mendahului. Jarwo tak mau kalah. Klakson panjang dinyalakannya. Membuat beberapa orang turut menatap.
        "Ayo, aku buru-buru ini. Lama sekali !" teriak Jarwo. Tak ada yang peduli. Semua fokus pada kendaraannya masing-masing.