Seorang lelaki tua berbaju kumal mengusap keringatnya. Berjalan tak jauh dari tempat Jarwo berjualan. Hanya tersenyum melihat Jarwo mengaduk segelas teh. Ketika Jarwo memberikan beberapa es ke dalam gelas. Lelaki tua itu mendekat. Ia mengajak Jarwo bersalaman.
"Kartono"
"Saya Jarwo. Mau beli pesan minum Pak ?"
"Kursi saya belum ada yang laku."
"Kalau begitu, apa mau utang dulu ? Bapak sudah berjalan jauh. Sepertinya tampak haus. Cuaca sangat terik. Dulu saya juga berjualan keliling, yang bisa saja berjalan dari desa ke desa. Itu setahun lalu, Pak." kata Jarwo menjelaskan.
"Jualan sedang sulit sekali ya Pak. Apalagi, sejak ada jualan online-online itu. Saya yang gaptek jadi susah beradaptasi." keluh lelaki tua itu. Ia mengamati sekeliling. Hanya ada beberapa orang. Angkringan sepi, meski di jam makan siang. Tampak pemanggang baru saja dinyalakan.
"Duduk saja, Pak. Berteduh. Panas sekali."
"Dulu, saya berjualan tahu berkeliling. Tahu itu digoreng dan saya kasih kecap sama sambal. Banyak yang beli. Anak-anak pulang sekolah. Belum lagi, ada pabrik sepatu di pojok kota. Saya hafal betul jam pergantian pekerjanya. Jadi, bisa jualan di sana. Ngumpulin modal, buat buka angkringan. Ini belum ada seminggu, Pak. Masih baru.
"Oh. Boleh saya pesan es teh juga, Mas ? Es teh tawar saja ya, Pak !"
"Tentu."
Jarwo membuat eh, ia heran. Sementara itu, ia juga merasa salah menilai orang. Keliru melihat lelaki tua yang berjualan kursi. Semula, Jarwo merasa kasihan. Berkeliling jualan kursi tentu melelahkan. Belum lagi, cuaca panas. Dia juga bilang, kalau kursinya belum ada yang laku. Nyatanya, lelaki tua berbaju lusuh itu membawa banyak uang. Lima lembaran uang seratus ribuan. Cukup banyak, jika untuk jajan di angkringan. Bisa untuk borong semuanya.