Jarwo terdiam. Ia tak jadi bercerita kalau penelitiannya juga butuh uang. Semua keperluan kuliahnya harus dibayarkan juga. Suasana semakin menyedihkan, tapi Ibunya Jarwo tetap berusaha menenangkan keadaan.
"Nanti kita beli sepatu ya. Sekarang, tolong bantu Ibu dulu. Itu, Mas Jarwo juga sudah siap berangkat kuliah !"
"Siap Bu," ujar Barno.
Memang benar, hidup akan baik-baik saja asal Ibu ada, gumam Jarwo.
***
Perjuangan hidup terus berlanjut. Setelah ibunya meninggal, Jarwo putus kuliah. Ia bekerja sebagai penjual burung. Pekerjaan yang awalnya hanya hobi. Mungkin karena kebutuhan, ia lanjutkan. Belum lagi, tuntutan dari adiknya.
"Mas, teman-temanku pada punya laptop dan gawai. Aku sendiri yang tidak punya." ujar Barno ketika berpamitan dengan Jarwo.
Pagi sebelum hujan tadi, Barno sudah berangkat sekolah. Karena tak tahu harus berbuat apa lagi, Jarwo hanya menangis dalam kamar. Hingga kelelahan dan terbangun. Sudah hujan dan dia kembali mendengar burung plecinya berkicau.
"Apa aku jual saja burung pleciku ? Tapi itu tidak akan cukup untuk membeli laptop dan gawai !" gumam Jarwo sambil menyeruput kopi manisnya.
Ia ingat betul, masih ada puluhan hutang Bapaknya yang harus dibayarkan. Ketika terasa begitu sesak, bayangan Ibunya muncul kembali.
"Ingat, Jarwo. Kita bisa bercerita soal kesedihan. Kadang itu menjual. Tapi, bukan berbohong. Itu berimanjinasi."