Hujan Pagi dan Kicauan Pleci
Cerpen Yudha Adi Putra
Seduhan kopi pagi ini terasa hambar. Kalau tidak karena hujan, Jarwo mungkin sudah pergi. Hujan deras tiba kala pagi. Jam sembilan belum tepat. Kicauan burung pleci terdengar.
Jarwo memilih membuat kopi. Rumah dalam keadaan sepi. Bunga-bunga basah terguyur hujan. Hanya ada pleci dan hujan pagi. Berharap, kopi dapat menghangatkan badan. Sarapan belum ada.
"Kalau saja ibu masih ada. Aku pasti tidak kelaparan. Ada makanan meski hanya nasi saja !" ujar Jarwo sambil mengaduk kopi. Gula diberikan. Takut kopinya pahit. Hidupnya sudah pahit. Kopinya jangan.
Langkahnya menuju depan rumah. Menatap burung pleci melompat dalam sangkar. Mungkin upaya agar tidak dingin. Tetangga sekitar menutup pintunya. Tak ada ibu-ibu menyapu. Hujan turun dengan deras. Jarwo semakin merindukan ibunya.
"Dulu, pasti ibu berlari-lari mengambil jemuran," gumam Jarwo teringat bajunya belum tercuci.
Lamunan Jarwo di mulai, ingat ketika dia masih mahasiswa semester akhir. Ibunya begitu ingin dia cepat lulus. Utang keluarga sudah banyak. Bapaknya Jarwo meninggal karena sakit. Bukan meninggalkan warisan. Tapi utang yang banyak. Selain untuk berobat, dulu Bapaknya Jarwo terkenal dengan sebutan penyabung ayam.
"Kamu harus lulus, Jarwo. Ada banyak harapan keluarga padamu. Adekmu besok juga sudah mau SMP. Soal utang, jangan dipikirkan. Bisa kita perjuangkan perlahan." ujar Ibunya Jarwo sambil membungkusi risoles. Mereka berjualan di pasar. Ada risol mayo, lemper, kue apem, sampai jus pesanan tetangga.
"Tapi, Bu.." belum sempat melanjutkan bicara. Tiba, Barno adiknya Jarwo.
"Bu. Aku mau beli sepatu. Kemarin, waktu sekolah aku dihina sama teman-teman. Sepatuku bolong dan sudah jelek. Aku tidak mau ke sekolah kalau belum punya sepatu." ujar Barno. Tak disangka. Anak lelaki kelas enam SD itu berbicara sambil menangis.