Cerpen Yudha Adi Putra
Jadi pengangguran memang tidak mudah. Mau makan saja sulit. Ketemu tetangga selalu ditanya. Mending kalau cuma ditanya. Sangat mungkin dihina dan dibandingkan. Lelaki itu menyembunyikan kegiatannya.Â
Ia sering disebut pengangguran abadi. Bukan orang kantoran. Orang-orang dengan gampang memanggilnya Gurdi. Tentu singkatan dari pengangguran abadi. Kadang, ada disebutan Mas Gurdi. Bukan Pak Gurdi, ia selibat.
"Terserah kalian hina saya apa. Saya tidak suka bekerja. Memangnya bekerja itu harus ? Saya jadi ingat sesuatu. Dulu, Bapak saya pengangguran juga. Pengangguran yang sukses dan berhasil. Berhasil menganggur karena dapat istri. Tidak main-main, istrinya pengusaha. Makanya, saya mau seperti Bapak. Tapi tidak mau menikah !" ujar Gurdi setelah mengambil jatah makan.
Ada pembagian makanan di jalan. Lelaki itu selalu datang pertama. Tidak pernah terlambat kalau makan. Terlambat sedikit saja, bisa marah. Semua bisa disalahkan, termasuk Pemerintah.
Makan menjadi urusan pertama Gurdi. Semua dicari, termasuk promo. Kali ini, dia dapat promo. Ada promo makan bakso. Gurdi sering tak punya uang. Tapi, kesempatan selalu datang.
"Kau bisa bantu kerja, Gur !" tawaran Bu Hesti pada Gurdi. Makan di warung soto. Bu Hesti kawan dekat Bapaknya Gurdi.
"Nanti, kau dapat makan soto. Sepuasnya !" lanjut Bu Hesti. Hampir tiap pagi, Gurdi minta makan di sana. Entah karena iba atau persahabatan dengan Bapaknya, Bu Hesti tetap memberi makan. Bahkan, semua itu cuma-cuma.
"Aku tidak mau bekerja, Bu !" bentak Gurdi. Tetap saja, ia mau menganggur. Menganggur dengan banyak keinginan. Keinginan untuk makan enak. Sehari kalau bisa ganti terus. Tiga kali makan, tiga menu.
"Gurdi ini aneh-aneh saja. Dia punya uang dari mana memangnya ?"