Tangisan Perempuan Penjual Burung
Cerpen Yudha Adi Putra
Hujan deras mengguyur pasar unggas. Hari masih pagi, menjadi saat terbaik untuk menjual burung. Tapi, semua gagal karena hujan. Banyak burung menggembungkan badannya kedinginan. Seolah malas untuk berkicau dan lompat dalam sangkar. Baru ketika ada sepasang mata menatap, burung mau bergerak.
"Burung kepodangnya dijual berapa, Pak ?" tanya Darso pada penjual burung yang sedang asyik bermain kartu.
"Dua ratus ribu. Silakan. Boleh nego semampunya!" ujar pedagang.
Begitulah suasana pagi di pasar unggas. Banyak lelaki berdatangan dengan dana kenakalan masing-masing. Meski tak jarang hanya jalan-jalan karena di rumah istri hanya ngomel melulu. Melepas penat, melihat kawan dengan hobi yang sama. Memelihara burung. Tidak jarang, penampilan pasar unggas menjadi kotor ketika hujan tiba. Maklum saja, hampir semua yang ada di sana laki-laki. Jadi, tidak pernah dibersihkan kecuali mau pulang. Tapi, pernah ada perempuan yang berjualan burung. Seorang nenek-nenek, hampir tidak ada yang tahu. Kalau nenek itu berjualan burung karena ia hanya membawa besek untuk membawa burung.
"Burung bagus tidak untuk dipamerkan. Biar jadi kejutan, tapi jenis burungnya sesuai yang saya katakan," kata nenek penjual burung.
"Memangnya, siapa nama penjual burung itu?" kata Darso ketika tahu ada penjual burung kepodang murah. Tetangganya dapat harga lima puluh ribu untuk sepasang burung kepodang.
***
Andin tak pernah mempersoalkan hobi suaminya, memelihara burung. Hanya saja, ketika ada masalah penting. Sering suaminya lebih mementingkan burungnya. Misal, ketika diminta mengantarkan ke salon malah pamitan ada lomba gantangan burung. Itu menyebalkan sekali bagi Andin.
"Mas, hari ini kita jadi berangkat ke tempat Ibu, kan ?" tanya Andin pada suaminya yang sedang asyik memandikan burung.