Cerpen Yudha Adi Putra
Agung senang sekali, akhirnya dia bisa ke pasar malam bersama teman-teman. Ketika berjalan menuju lapangan, tempat pasar malam dibuka. Doni, salah satu teman Agung teringat kisah sebelum pasar malam diperbolehkan ada di sana.
     "Mau ada pasar malam seperti ini, drama yang terjadi cukup menguras tenaga dan biaya ya. Bisa juga ternyata," ujar Doni. Tubuh besarnya membuat kesulitan melangkah cepat. Beberapa langkah berjalan, dia berhenti dan mengajak teman lain untuk berbicara.
     "Drama katamu ? Itu benar terjadi, menyebalkan sekali. Aku ingat benar perkataan Pak Dukuh," sahut Dio. Dia masih kesal dengan Pak Dukuh.
     "Sudahlah, itu semua perjuangan kita. Melawan ibu-ibu dengan bantuan bapak-bapak dan pemuda. Pemudinya sebagai calon ibu-ibu malah tidak mau bantu," komentar Agung. Perjalanan menuju pasar malam malah menjadi cerita ulang.
     Pasar malam di desa, apalagi memakai lapangan desa memang penuh dengan konflik. Mereka yang merasa peduli dengan lapangan akan berpendapat lain.
     "Nanti, pasar malam itu hanya akan merusak lapangan saja. Kita sulit merawatnya," kata Pak Amir.
     "Benar sekali, pasar malam di lapangan jadi membuat kita tidak bisa olahraga. Padahal, aku merencanakan untuk bermain sepak bola setelah pulang kerja," sahut Pak Hasan.
     "Kalau kita tolak saja proposalnya, mungkin uang sepuluh juta untuk sebulan tidak sebanding dengan tangisan dan permainan perasaan bagi anak-anak," Pak Dukuh nampak bijaksana.
     "Tapi, di sisi lain. Kita juga perlu perubahan. Ada hal baru yang dapat dipelajari. Nanti, ada ekonomi yang bergerak. Ada kesempatan untuk kerja bakti. Anak-anak mendapatkan hiburan dan mungkin pengalaman bisa bertemu. Pemuda juga dapat ambil bagian ? Dari pada mabuk-mabukkan di pinggir sawah tiap malam?" lanjut Pak Dukuh.
     "Benar juga, tapi itu bisa menganggu jadwal belajar anak-anak. Apalagi, ini menjelang ujian tengah semester. Ada pertimbangan lain untuk diizinkan ada pasar malam," ujar Pak Tomi yang bekerja sebagai guru.
     Anak-anak seperti Agung dan teman-temannya asyik mendengarkan perbebatan rapat itu. Mereka sebenarnya sangat ingin ada pasar malam. Apalagi, sering membaca buku cerita kalau pasar malam itu terbuat dari kunang-kunang. Ada dongeng soal komedi putar hingga arum manis yang menjadi bantal para peri.
     "Kita harus cari cara, bagaimana supaya pasar malam tetap boleh ada di lapangan desa," ujar Agung pada teman-temannya.
     "Kalian ada yang punya ide?" tanya Agung.
     "Begini saja, kalau kita menangis saja bagaimana ? Minta supaya pasar malam tetap diadakan. Pasti orangtua akan terharu. Tidak tega dengan tangisan kita," ujar Doni.
     "Dasar anak manja. Memangnya semua orangtua itu seperti orangtuamu ? Kau tidak dengar tadi ? Mereka berdebat dengan rumit. Mana pertimbangannya macam-macam lagi. Kalau kita minta tolong ibu-ibu di rapat PKK besok bagaimana ?" usul Dio.
     Agung dan teman-temannya meninggalkan pembicaraan bersama Pak Dukuh itu. Setiap warga punya kesempatan untuk menyampaikan usulannya. Ada yang setuju. Ada yang setuju tapi dengan syarat tak masuk akal. Memang banyak yang tidak setuju, pasar malam nanti cuma membuat kesenjangan sosial. Anak orang kaya bisa jajan dengan melimpah, sedangkah orang miskin hanya menjilati ibu jari saja.
     "Ibu-ibu, besok Minggu akan ada pasar malam di lapangan desa, menurut ibu-ibu bagaimana? Apakah setuju, soalnya ini menjadi kesepakatan bersama. Kita akan membahas dalam pertemuan PKK hari ini," tanya Bu Kades.
     "Kalau menurut saya, ada pasar malam ini punya potensi baik untuk dikembangkan. Ada ruang perjumpaan dimana setiap unsur masyarakat boleh terlibat. Tidak hanya teman-teman pengurus pasar malam saja, tapi menjadi bentuk pembelajaran akan kehidupan komunitas. Bisa juga, melatih jiwa kewirausahaan dari anak-anak," usul Bu Kades. Ketua PPK itu nampak selalu mengedepankan kepentingan komunitas. Tak disadari uang pelicin sudah diterimanya dan menjelma menjadi kalung emas baru.
     "Boleh juga itu, nanti kita bisa buat stand. Siapa tahu, UMKM lokal di desa kita bisa semakin laku. Ada banyak yang beli dan dikenal banyak orang. Pengembangan ekonomi lokal yang perlu dimanfaatkan ini ibu-ibu," kata Bu Neni. Ia nampak bersemangat. Sebagai salah satu pemilik UMKM, keberadaan pasar malam tentu akan membawa keuntungan.
     "Nanti anak-anak bagaimana, bu ? Mereka kalau malam belajar? Kalau mengajak ke pasar malam terus bagaimana? Gaji suami saya cuma cukup untuk makan," kegelisahan Bu Haryati diungkapkan. Bukan tanpa alasan, menjadi istri petani memang tidak mudah. Uang bulanan yang diterima tidak pernah cukup. Selalu saja kurang. Kalau ada pasar malam, uang dari mana untuk mengajak Agung dan teman-temannya ke pasar malam ?
     "Malam itu bu, saya takut banyak kenakalan remaja. Kemarin banyak berita pembunuhan dengan kekerasan di jalanan, kalau pulang dari pasar malam malah meninggal ? Itu berisiko sekali, bu. Kita tolak saja, kalau uang bisa dicari dengan usaha yang lainnya, bu" kata Bu Yanti.
     Malam itu juga ramai. Ibu-ibu tidak kalah ingin mengeluarkan semua usulannya. Ada yang setuju, tapi banyak sekali menolak. Bukan takut karena nanti lapangan menjadi rusak, melainkan khawatir kalau ada pasar malam. Ada kebutuhan hidup yang bertambah banyak.
     "Sudah, kita cukupkan dulu rapatnya. Belum ada kata sepakat soal pasar malam ya ibu-ibu. Sementara, kita akan menunggu juga hasil pertemuan dari bapak-bapak dan karangtaruna, soalnya mereka yang akan membantu mengelola," ujar Bu Kades.
     "Marilah ibu-ibu, kita manfaatkan potensi pasar malam ini. Ini dari kita, nanti oleh kita, hingga akhirnya untuk kebaikkan kita juga," buju Bu Kades.
     Sulit sekali, Agung dan teman-temannya tahu. Kalau kemungkinan besar, pasar malam tidak jadi dibuka di lapangan desa. Mereka sudah minta bantuan ketua pemuda, supaya pasar malam tetap boleh dibuka. Hasilnya sama, malah saling membandingkan kepentingan. Pemuda tidak mau kalau hanya menjaga parkir. Mereka ingin lebih, menikmati komedi putar misalnya. Itu semua karena masa kecil kurang bahagia.
     "Aku tahu, kita buat cerita saja. Soal dongeng tangisan pasar malam," kata Agung pada teman-temannya.
     "Jadi begini, nanti kalian semua ceritakan pada orangtua kalian soal orang-orang di pasar malam. Ceritakan saja, kalau mereka semua juga memerlukan uang. Mereka butuh kesempatan untuk belajar. Butuh uang untuk beli beras, pokoknya dibuat semenderita mungkin. Sama kayak kita, itu pasti akan membuat orangtua kita iba. Jadi, dengan memberi kesempatan ada pasar malam. Kita bisa membantu mereka, bahkan hanya dengan menjadi penonton itu sudah lebih dari cukup. Tambahkan juga kisah sedih lainnya, soal kunang-kunang dan komedi putar," jelas Agung. Ia banyak berharap ada perubahan dari orangtua mereka setelah mendengarkan cerita.
     Hari Minggu tiba, semua warga berkumpul. Ada tangisan Agung yang terdengar. Ia menangis dengan menggandeng anak kumal di sampingnya.
     "Siapa itu Gung?" tanya Pak Dukuh.
     "Dia anak pemilik komedi putar, aku mau bermain dengannya tapi tidak bisa. Dia juga ingin sekolah, tapi uang tidak ada. Aku ingin sekali menolongnya," jawab Agung dengan nafas sesenggukkan karena menangis.
     "Ayo kita bantu anak ini! Tidak ada yang boleh menderita di dusun kita. Kita saling membantu. Pasar malam boleh dibuka di sini! Kita akan bertanggungjawab atas kebahagiaan kita sendiri. Apakah kalian semua setuju?" teriak Pak Dukuh.
     Semua penduduk bersorak dengan suaranya masing-masing. Kebanyakkan dari mereka setuju, tapi yang tidak setuju memilih berjalan perlahan untuk meninggalkan lapangan.
     "Bagus, ide Agung berhasil," kata Dio dengan lembut.
     Akhirnya, pasar malam diadakan di lapangan desa. Itu semua berkat tangisan anak pasar malam yang direncanakan oleh Agung. Hanya anak-anak dan pengelola pasar malam yang tahu. Bagi mereka yang tidak setuju, pulang dengan banyak gerutu.
     "Siap-siap saja, jalanan di kampung menjadi jelek. Nanti, pasti lapangan menjadi rusak kalau dipakai buat pasar malam," ujar seorang lelaki.
     "Aku mau cari pawang hujan, biar hujan terus turun waktu malam hari. Tidak ada pasar malam, biar bangkrut saja. Menyebalkan sekali, kalau malam pasti berisik ini," keluh seorang petani, bapaknya Agung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H