"Benar juga, tapi itu bisa menganggu jadwal belajar anak-anak. Apalagi, ini menjelang ujian tengah semester. Ada pertimbangan lain untuk diizinkan ada pasar malam," ujar Pak Tomi yang bekerja sebagai guru.
     Anak-anak seperti Agung dan teman-temannya asyik mendengarkan perbebatan rapat itu. Mereka sebenarnya sangat ingin ada pasar malam. Apalagi, sering membaca buku cerita kalau pasar malam itu terbuat dari kunang-kunang. Ada dongeng soal komedi putar hingga arum manis yang menjadi bantal para peri.
     "Kita harus cari cara, bagaimana supaya pasar malam tetap boleh ada di lapangan desa," ujar Agung pada teman-temannya.
     "Kalian ada yang punya ide?" tanya Agung.
     "Begini saja, kalau kita menangis saja bagaimana ? Minta supaya pasar malam tetap diadakan. Pasti orangtua akan terharu. Tidak tega dengan tangisan kita," ujar Doni.
     "Dasar anak manja. Memangnya semua orangtua itu seperti orangtuamu ? Kau tidak dengar tadi ? Mereka berdebat dengan rumit. Mana pertimbangannya macam-macam lagi. Kalau kita minta tolong ibu-ibu di rapat PKK besok bagaimana ?" usul Dio.
     Agung dan teman-temannya meninggalkan pembicaraan bersama Pak Dukuh itu. Setiap warga punya kesempatan untuk menyampaikan usulannya. Ada yang setuju. Ada yang setuju tapi dengan syarat tak masuk akal. Memang banyak yang tidak setuju, pasar malam nanti cuma membuat kesenjangan sosial. Anak orang kaya bisa jajan dengan melimpah, sedangkah orang miskin hanya menjilati ibu jari saja.
     "Ibu-ibu, besok Minggu akan ada pasar malam di lapangan desa, menurut ibu-ibu bagaimana? Apakah setuju, soalnya ini menjadi kesepakatan bersama. Kita akan membahas dalam pertemuan PKK hari ini," tanya Bu Kades.
     "Kalau menurut saya, ada pasar malam ini punya potensi baik untuk dikembangkan. Ada ruang perjumpaan dimana setiap unsur masyarakat boleh terlibat. Tidak hanya teman-teman pengurus pasar malam saja, tapi menjadi bentuk pembelajaran akan kehidupan komunitas. Bisa juga, melatih jiwa kewirausahaan dari anak-anak," usul Bu Kades. Ketua PPK itu nampak selalu mengedepankan kepentingan komunitas. Tak disadari uang pelicin sudah diterimanya dan menjelma menjadi kalung emas baru.
     "Boleh juga itu, nanti kita bisa buat stand. Siapa tahu, UMKM lokal di desa kita bisa semakin laku. Ada banyak yang beli dan dikenal banyak orang. Pengembangan ekonomi lokal yang perlu dimanfaatkan ini ibu-ibu," kata Bu Neni. Ia nampak bersemangat. Sebagai salah satu pemilik UMKM, keberadaan pasar malam tentu akan membawa keuntungan.
     "Nanti anak-anak bagaimana, bu ? Mereka kalau malam belajar? Kalau mengajak ke pasar malam terus bagaimana? Gaji suami saya cuma cukup untuk makan," kegelisahan Bu Haryati diungkapkan. Bukan tanpa alasan, menjadi istri petani memang tidak mudah. Uang bulanan yang diterima tidak pernah cukup. Selalu saja kurang. Kalau ada pasar malam, uang dari mana untuk mengajak Agung dan teman-temannya ke pasar malam ?