Doa Sawah
Cerpen Yudha Adi Putra
Apa kalian tahu ? Kalau sawah itu sebenarnya perempuan, tepatnya seperti Ibu. Aku mau menceritakannya, memang manusia tidak bisa berbicara dengan sawah. Tapi, dulu ada petani tua yang bisa dan dia adalah sahabat dekat kami.
Mengingatnya sedikit sulit, karena sekarang sawah menjadi semakin kotor. Wajah petani yang sering merawat kami ketika muda, aku samar-samar tahu. Apalagi, ketika dia datang bersama kawan-kawannya.
“Bulan purnama tiba, mari kita ke sawah. Indah sekali pasti, ada kunang-kunang dan burung ciblek bertengger di dahan rendah,” petani mengajak temannya. Petani itu masih muda dan langit sawah masih cerah. Belum ada yang berani bermimpi untuk kuliah. Pemuda di desa masih senang menjadi petani, itu lebih mendamaikan karena menjaga warisan orang tua. Perkawinan mereka juga masih dalam kerabat dekat, supaya sawah tidak terbagi dan berpindah tangan. Kami sangat bersahabat dulu, malam terasa indah.
“Nanti kita cari burung ciblek ya ? Lumayan, siapa tahu bisa laku di pasar hewan. Katanya, Lik Manto kemarin berhasil mendapatkan banyak,” jawab seorang pemuda dengan caping. Mereka bersiap ke sawah dengan bekal yang sebenarnya mereka curi tadi siang. Singkong milik Pak RT dengan rebusan, ada juga yang sengaja dibuat setengah matang. Biar nanti kalau di sawah bisa dibakar.
Masa seperti itu sudah lama berlalu, sekarang petani tua menjadi petani terakhir di sawah. Kami senang menyambut petani tua datang. Ia membawa cangkul dan caping. Sesekali, memberi kami pupuk dari kotoran sapi. Itu membuat kami senang, rasanya sejuk sekali. Sebagai perempuan, kami juga senang dengan puisi. Petani tua setelah letih mencangkul, dua tiga bait sajak dibuatnya untuk kami. Hingga, kami senang menjadi tempat tumbuhnya padi. Burung juga sering mendatangi kami, untuk meminta sedikit padi. Tapi, itu yang membuat petani tua kesal.
“Kenapa burung-burung itu menjadi banyak menjelang musim panen ?” tanya petani pada buruh tani yang mengerjakan sawahnya. Buruh tani hanya tersenyum. Mungkin, mereka tak berani menjawab karena pengalaman bertani mereka kalah dengan petani tua.
***
Seorang perempuan senang dengan perhatian, begitu juga dengan sawah. Perhatian yang diberikan petani tua selalu membuat kami terkesan. Dari pengairan yang tidak pernah terlambat hingga membuat kami merasa bermanfaat. Itu yang selalu kami rindukan.
“Sawah di sini sudah tidak mungkin di tanami padi lagi, akan ada pembangunan perumahan. Petani tua memiliki cucu yang kembali dari kota. Ia mau tinggal di desa dan petani tua memberikan sawahnya,” ucap burung pipit, sahabat kami. Jujur, kami sedih dan terkejut mendengar kabar itu.