Sebuah Dahan
Cerpen Yudha Adi Putra
Makanan dalam sangkar tidak enak. Gula cair yang sudah beberapa hari. Aku dan Jeki tidak berselera untuk makan. Tapi, kalau aku tidak makan, bisa saja menyusul kedua kawan kami. Mati dengan tubuh kurus dikeroyok semut. Begitulah, nasib burung dalam sangkar. Iya, antara kelaparan, lalu mati. Bisa juga terbang bebas, kalau pemilik kami lupa menutup sangkar. Tapi, itu sangat jarang terjadi.
        "Apa yang diperbuat anak itu?" tanya Jeki padaku. Seketika, aku mengamati anak laki-laki yang memelihara kami. Ia bernama Yudha. Ada tujuh burung di rumahnya. Semua diberi makan, kalau ingat.
        "Entah, ia membuka kota bersuara kawan-kawan kita. Tapi, kemarin kata Rokie. Pemilik kita sedang membuat ramuan baru. Untuk menangkap burung," jawabku singkat. Aku mendekati tempat makanan, mau tidak mau aku harus makan.
        Bagi burung sogon seperti kami, sinar matahari amat penting. Tidak bertemu sinar matahari, kami bisa gatal-gatal. Hal itu juga diketahui pemilik kami. Setelah memberi makanan, kami disiram air seenaknya. Lalu, kami dibiarkan menikmati sinar matahari, kadang sepanjang hari sampai kepanasan. Burung liar yang lewat mengejek kami. Mereka berkicau, seolah mengajak kami bernyanyi. Tapi, apa mungkin bernyanyi dalam kurungan sangkar seperti ini ?
        "Nanti, kita akan dibawa ke sawah. Aku sudah lama tidak melihat hamparan sawah. Semoga anak itu kelupaan dan kita bisa lepas," ungkap Jeki. Ia mendengar percakapan anak itu dengan orangtuanya.
        "Kalau tidak, kita bisa dimakan ular. Kau tahu, sawah itu banyak ularnya. Tidak hanya burung, kita dalam sangkar kayu bisa dimakan," jawabku sambil melompat dari dahan sempit di sangkar merah yang sudah tiga bulan kami tinggali.
        "Tidak masalah. Kita bisa ganti suasana, itu sudah lebih baik. Bosan tahu, hanya mendengar kicauan mereka. Bukannya tertarik, aku malah merasa berisik," kata Jeki.
        "Siapa yang kalian sebut berisik ? Dasar burung muda. Makanya, kalian belajar berkicau biar pemilik kita senang. Bukan mengeluh saja," Loki tiba-tiba berkomentar. Burung prenjak tamu betina itu memang sudah tua. Ia dua tahun lebih di dalam sangkar. Jadi, sudah tahu caranya menjadi penjilat. Kalau kicauannya merdu dan bervariasi, pasti pemilik membelikan makanan ekstra.
        "Sudahlah. Kita nikmati saja, siapa tahu nanti bisa berkenalan dengan burung lain di sawah," ucapku berusaha menenangkan diri. Sebenarnya, sudah beberapa kali aku pergi ke sawah. Tapi itu dulu, sebelum aku dipelihara dan hanya di dalam sangkar saja.