Gadis Burung Kenari
Cerpen Yudha Adi Putra
Semua burung di sangkar mungkin akan senang setiap kali melihat Flory lewat. Ia akan selalu mampir di rumah dengan sangar tergantung di depannya, toko yang ada burungnya di sangkar, mampir di toko burung, dan dia akan menatap burung dalam sangkar itu. Seolah mereka kawan lama yang berjumpa. Ia tidak hanya sekedar melihat burung dalam sangkar, tetapi seperti berbicara dan mengerti maksud dari setiap kicauan burung itu. Ia akan melambaikan tangannya di depan sangkar setiap kali melihat burung berada di sangkar, seperti ia adalah perempuan yang jatuh hati dengan burung dalam sangkar.
Flory adalah pejuang pendidikan, bagaimana desa itu mempunyai kegemaran belajar, ia turut memperjuangkannya. Ia merupakan anak yang lahir di desa itu dan menjadi bagian ketika desa itu dalam kondisi terburuknya. Semuanya seolah tidak dimanfaatkan. Rumput tumbuh dengan seenaknya. Jalanan penuh dengan sampah plastik, botol bekas menjadi sarang nyamyuk, tetapi penduduk desa tidak memperhatikannya. Seolah semuanya baik-baik saja. Hingga pada suatu ketika ada banyak pencurian.
Kesenjangan sosial bukan menjadi hal yang sulit ditemui. Setiap malam ada saja penduduk yang bertengkar karena iri hati, ada pencuri ayam, televisi di pos ronda hilang, tapi Flory tidak peduli. Ia hanya perempuan, mungkin akan menjadi masalah ketika berurusan dengan laki-laki. Apalagi penduduk desa dengan banyak kepentingannya. Desa itu terus memburuk, tapi mereka punya kebiasaan yang sama. Memelihara burung dalam sangkar. Entah burung prenjak atau burung kenari.
Pada suatu sore yang mendung, Flory hendak pergi ke sawah mengantarkan payung untuk Bapaknya. Ia merasa tidak nyaman dengan kebiasaan petani merokok di sembarang tempat. Dalam perjalanan, ia melihat burung kenari di antara burung gereja yang terbang di tepi sawah. Burung kenari itu sayapnya terluka. Ia dekati burung kenari itu dan menolongnya. Sebelum tangan Flory menyentuh burung kenari, burung itu berubah menjadi seorang pemuda. Flory terkejut. Ia menatap pemuda yang tadi asalnya dari burung kenari terluka, begitu tampan menurutnya. Rambutnya gondrong, tapi dikucir rapi. Dan pemuda itu memakai barang yang jarang ditemukan di desa, ia memakai kaca mata.
Pemuda itu membawa buku, begitu senang dengan buku sepertinya. Flory merasakan kagum pada penampilan pemuda itu. Flory seperti diajak pemuda itu untuk membaca dan memang benar, pemuda itu memberinya satu buku juga. Buku warna kuning dengan judul nama Flory dengan tambahan pejuang literasi. Flory menatap buku itu, dibukanya, halaman demi halaman diliatnya, ternyata menceritakan desanya. Desa yang begitu indah dan memiliki potensi. Petani yang ramah dengan banyak mimpi hingga Flory sebagai pejuang literasi.
Kekaguman Flory tidak berhenti begitu saja. Pemuda itu mengajak Flory berdiskusi dan berjalan berkeliling desa. Desa yang tadinya tidak tertata, menjadi muncul tempat-tempat membaca dan sampah-sampah berserakan berubah jadi hiasan ketika pemuda itu menunjuknya. Seperti dalam mimpi, Flory mendapati petani membentuk gubuk kecil dengan beberapa buku di sawah. Mereka asyik membaca sambil menunggu sawah dari burung yang mau makan padinya. Desa yang awalnya seperti kumuh, kini berdatangan orang ingin melihat dan berwisata, bahkan ingin tinggal beberapa hari bersama para petani. Pemuda dan Flory terus berdiskusi, mengkritisi seluruh kondisi desa dan seitap selesai berdiskusi, apa yang mereka katakan terjadi.
Hingga tidak ada lagi petani yang merokok sembarangan. Sampah plastik menjadi hiasan di pojok baca. Botol-botol bekas menjadi penutup lampu penghias taman baca di kala malam. Penduduk desa menjadi senang berpuisi dan membagikan tulisan. Mereka membentuk angkringan untuk berkumpul bersama merayakan kata. Semua penduduk desa memuji pemuda dan Flory beserta ide-ide kreatif mereka. Mereka terus berdiskusi dan membaca. Menikmati desa dengan keromantisannya. Betapa petani desa itu berharap pemuda itu menjadi kepala desa yang baru, Flory dengan berbagai idenya soal membaca, dan ada yang tidak berubah. Kicauan burung semakin terdengar merdu.
Desa itu menjadi desa yang asri, dimana burung tidak lagi berada dalam sangkar. Burung bisa bebas berterbangan di depan halaman rumah penduduk. Menyanyi bersama ketika pagi dan hinggap di depan rumah ketika hujan tiba. Semua penduduk desa merasakan kebahagiaan karena burung dan kebiasaan mereka membaca. Dalam harapan penduduk desa, ada pendidikan yang dikerjakan melalui gerakan membaca. Petani mulai berani bermimpi menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Buruh di desa mulai mantap kalau anaknya ingin menjadi petani. Semua berani bermimpi dengan membaca. Ada kebahagiaan dalam hari-hari di desa, semenjak Flory dan pemuda itu bersama.
Hingga ada peristiwa memilukan terjadi. Pemuda itu terjatuh dan hanyut di sungai secara tragis karena membaca sambil berjalan. Ada sebuah jembatan penghubung desa dengan sawah dimana ada banyak batu-batu curam di sungainya, tergelincir saja, bisa terkena batu yang berbahaya dan kepala pemuda itu terluka karenanya. Flory menjerit ketakutan ketika melihat pemuda itu terjatuh dari jembatan. Pemuda itu kembali menjadi burung yang terluka. Burung kenari dengan sayap kuning berdarah dan basah karena hanyut di sungai. Maka, Flory menolong burung itu dan merawatnya. Penduduk desa yang tahu akan kejadian itu juga turut bersedih. Kematian pemuda dengan kacamata yang suka membaca sudah berhasil membawa desa menuju kondisi optimalnya.