Mohon tunggu...
Huzer Apriansyah
Huzer Apriansyah Mohon Tunggu... Lainnya - Pada suatu hari yang tak biasa

Belajar Menulis Disini

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Negeri Para Pengantri

26 November 2011   21:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:09 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

[caption id="attachment_144851" align="aligncenter" width="650" caption="Ironi negeri/doc@huzera"][/caption]

Di negeriku, mengantri adalah sebuah parodi. Dimana nilai kehidupan sekedar ilusi menjadi..

Di negeriku, mengantri bukan untuk segenggam roti tapi segenggam alat canggih bernama blackberry. Rakus sekali kami pada canggihnya teknologi, hingga korban jatuh lagi-lagi..

Tahukah Engkau tuan dan puan, mereka mengantri ketika di tangan dan sakunya masih ada dua alat canggih lain yang bahkan taklah mereka mengerti bagaimana alat itu berlari…

Di negeriku, blackberry itu layaknya nasi. Hukumnya wajib di konsumsi. Kalaupun harus berhutang tak mengapa, karena ia bisa menghapus nestapa. Ah, mungkin tuan dan puan tak percaya padaku, tapi tengoklah betapa banyak kebahagian yang diberikan alat itu; bermesraan, walau bukan dengan pasangan. Berjualan walau kadang hanya tipuan. Bisa pula untuk mempercantik penampilan. Tentu ini bukan laku semua, hanya saja ini pola kebanyakan.

Tuan dan puan, mari kita bergeser sejenak.

Di negeriku, para politisi juga antri. Meski mereka bilang bekerja tanpa pamrih tapi posisi tetaplah gurih. Bersekutu dengan lawan atau bertempur dengan kawan sepermainan tak jadi soal asal bisa dapat antrian di depan, bukan nomor sepatu. Kalau dapat nomor sepatu, posisi taklah tentu. Karena itu berjibaku sudah jadi laku.

Tuan dan puan, jangan kau kira antri posisi itu membuat mereka lupa pada kami. Tidak, sama sekali tidak, mereka selalu mengingat dan menyebut nama kami, rakyat ! Bahkan kami disebut lebih kerap dari mereka menyebut nama Tuhan. Namun apa lacur, kami hanya hadir dalam bahasa tutur, tak kurang dan tak lebih.

Di negeriku, kala ramadhan tiba kami juga mengantri. Zakat yang dibagi para saudagar adalah yang kami incar. Kadang sebungkus mie dan selembar kain sarung di tangan, namun kalau beruntung dua lembar limapuluhan.

Tuan dan puan, mungkin kau anggap itu pertanda baik. Pertanda bahwa saudagar mendengar nasib kami yang terkapar. Tidak tuan dan puan, aku tak yakin itu. Malah aku mengira kami yang berjejer panjang di antrian, hanya mereka jadikan alau untuk melegitimasi kesaudagaran dan kesolehan mereka. Padahal, mereka bisa mengantar ke rumah-rumah reot kami yang bisa ditemui di setiap jengkal tanah ini. Apa daya, mereka tak punya waktu. Biarlah kami yang berjemur dan berdesakan dalam antrian. Kadang terpaksalah kami saling memukul dalam himpitan demi selembar limapuluhan..

Tak sampai disitu tuan dan puan,

Pemerintah kami juga berniat baik mengajari kami cara antrian. Kamipun menuai bantuan langsung tunai. Berbondong-bondonglah kami mengantri karena hasilnya bisa untuk makan 10 hari. Bijak sekali pemerintah kami, bukan begitu tuan dan puan ?

Satu program ditanam dua tiga manfaat digenggam. Rakyat dapat makan 10 hari sekaligus belajar mengantri. Kalaulah ada 10-20 orang tua yang pinsan atau 5-6 orang yang njengkang karena terdorong kerumunan, tak apalah itukan konsekuensi. Ah, tetap saja bagiku ini parodi.

Mengapa tak mereka buatkan saja rekening tanpa uang administrasi di bank-bank negeri. Lalu, berikan pada kami buku rekeningnya saja. Jadilah kami punya tabungan syukur-syukur bisa menang undian.

Tuan dan puan banyak lagi kisah antrian di negeriku. Tapi sementara ini dulu, aku khawatir nanti kau sangka aku mengada-ada…

Inilah negeriku, negeri para pengantri…

Note : Tulisan fiksi pertama di kompasiana....:)

SELAMAT TAHUN BARU HIJRIAH..Semoga di tahun baru ini negeri ini akan lebih baik dan kita penghuninya bisa memaknai nilai agama lebih dari sekedar ritual, melainkan kemanusiaan yang mendalam..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun