Mohon tunggu...
Huzer Apriansyah
Huzer Apriansyah Mohon Tunggu... Lainnya - Pada suatu hari yang tak biasa

Belajar Menulis Disini

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Menjadi Relawan Sosial di Negeri Wayne Rooney

12 Desember 2011   14:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:26 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_148267" align="aligncenter" width="650" caption="Saya (jongkok dengan tutup kepala) bersama relawan dari Kazakstan, Afsel, UK dan India"][/caption]

Menjadi relawan sosial di Inggris, hah..ngapain ? Bukankah Inggris itu negara kaya. GDP (Gross Domestic Product) per kapita penduduknya saja mencapai 23.000 Euro, sepuluh kali lebih tinggi dari negeri kita. Bukankah Inggris adalah salah satu pemimpin ekonomi dunia saat ini. Bursa Dow Jones di London tercatat sebagai top five di dunia. Ah, rasanya akan sia-sia menjadi pekerja sosial disana.

Jika sepintas dipandang, apalagi kalau bercermin dari pemberitaan media, rasanya memang Inggris kaya sekali. Tapi ternyata negeri Ratu Elizabeth ini menyimpan banyak sisi “gelap” yang luput dari pandangan kita di negara berkembang. Setelah menjadi pekerja sosial selama tiga bulan lebih di Birmingham, West Midlands mata saya terbuka bahwa negeri yang kita asumsikan kaya ini ternyata meyimpan sisi gelap.

Fireside Charity Birmingham itulah tempat saya belajar menjadi relawan sosial. Fireside charity ini adalah lembaga sosial yang menangani permasalahan gelandangan (homelessness) di Birmingham. Fireside centre yang menjadi sentra kegiatan lembaga ini berada di Allcock Street, saya butuh waktu sekitar 30-45 menit dari homestay di Selly Oak Street menuju Fireside.

Menikmati Inggris Bersama Gelandangan

Dalam sepekan saya datang 3 kali. Pekerjaan yang saya lakukan bermacam-macam, mulai dari cuci piring, bikin teh, bikin kopi, bantu-bantu chef di dapur, kadang membantu mendampingi di ruang komputer, ngepel, bersih-bersih toilet, menata stok makanan di gudang dan berbagai kegiatan lainnya. Sebagai relawan biasanya kami bergantian melakukan tugas-tugas itu jadi tak terasa bosan.

[caption id="attachment_148272" align="aligncenter" width="500" caption="Fireside Centre @Birmingham/pic by www.jvcnews.wordpress.com"][/caption]

Beragam pengalaman didapat selama menjadi relawan di Fireside, mulai dari yang menakutkan sampai yang menyenangkan. Suatu pagi, saya datang langsung mempersiapkan teh hangat, kemudian bantu ngepel dan membantu mempersiapkan antrian para “langganan”. Tiba-tiba saja seorang pria berlari dari antrian dan menodongkan senjata tajam ke arah salah satu petugas fireside. Untung saja ia bisa diamankan oleh gelandangan lainnya. Meski demikian, petugas perempuan fireside itu terluka pelipisnya. Ah menegangkan sekali, karena baru seminggu bergabung, sudah menghadapi kondisi tersebut.

Gelandangan yang marah-marah sudah menjadi pemandangan sehari-hari di Fireside, sayapun lama-kelamaan menjadi terbiasa. Namun, kisah bahagia juga banyak. Pernah saya sangat tertarik dengan seseorang gelandangan yang tiap sampai, ambil teh dan sarapan kemudian baca buku sampai saat makan siang tiba. Setiap kali itu yang ia lakukan. Padahal gelandangan lain banyak yang memilih bermain kartu atau ikut main bingo atau bercanda-canda. Tapi tidak dengan beliau, selalu saja ada buku yang ia baca. Akhirnya, pada suatu kesempatan kucoba berbincang dengannya. Ternyata bapak itu adalah seorang dosen. Iya dia dosen, tapi di Uganda. Karena konflik ia pergi ke Inggris sebagai imigran, karena sulitnya hidup di Inggris ia tak bisa berbuat banyak selain mengandalkan kebaikan dari lembaga macam Fireside.

[caption id="attachment_148284" align="aligncenter" width="640" caption="Dua sisi Birmingham, Bullring Mall dan Old Church/doc@huzera"][/caption]

Suatu malam, pernah pula saya pulang kemalaman karena mencoba ikut sholat taraweh di masjid yang tak terlalu jauh dari Fireside. Tegang juga malam-malam sendirian di daerah yang terkenal “keras” di salah satu sudut Birmingham. Tiba-tiba saat menanti bus, seseorang menepuk bahu saya dari belakang “Hei Dude what are you doing here, it’s so late…” Hah, jantung saya berdegup kencang, setelah kutoleh ternyata ia adalah gelandangan yang biasa kutemui di Fireside. Dia menawarkan diri untuk menemani sampai bus datang, katanya daerah itu tidak aman. Ah, senangnya.

Pengalaman di Fireside membukakan mata saya, betapa kesulitan hidup dan kejamnya dunia tak mengenal negara. Hanya saja bedanya, para gelandangan di negeri Ratu Elizabeth ini mendapatkan jaminan sosial dari negara. Mereka juga mendapat tunjangan kesehatan dan berbagai kemudahan dari pemerintah. Ehm…mungkin ini yang membedakan gelandangan di Inggris dan di negeri kita.

Satu hal lagi yang saya pelajari dari para gelandangan di negeri Wayne Rooney ini adalah kebiasaan mereka ke perpustakaan. Berulang kali saya ke perpustakaan kota Birmingham di city centre tiap kali itu pula saya berjumpa dengan para gelandangan yang kerap saya jumpai di Fireside. Selidik punya selidik, ternyata mereka ke perpustakaan disamping untuk membaca juga untuk mendapat kehangatan. Maklumlah kalau musim dingin tiba, kehangatan yang ditawarkan perpustakaan akan sangat membantu mereka dari kedinginan.

Satu hal juga saya pelajari dari lembaga sosial di Inggris, mereka menjalani aktivitasnya dengan sangat profesional. Walaupun cuma berstatus relawan, kami harus mengikuti semua peraturan dasar; Datang dan pulang tepat waktu, melakukan pekerjaan dengan sebaik-baiknya dan satu hal lagi… Enjoying the works.

Menyelami negeri sepakbola dunia ini lebih dalam, ternyata mereka menghadapi beragam kerentanan sosial yang luar biasa. Gelandangan dan pengangguran adalah isu yang dominan, penggunaan narkotika dan alkohol juga luar biasa tinggi, child abuse and bullying serta beragam kerentanan sosial lainnya hadir menghiasi kota-kota di Inggris. So, masalah sosial ternyata bukan hanya didominasi kota-kota di negara berkembang.

Pembedanya dengan negara kita adalah cara negara menangani kerentanan sosial tersebut. Pendekatan yang sangat manusiawi dilakukan oleh pemerintah setempat. Gelandangan tidak dianggap sebagai sampah masyarakat, melainkan dianggap sebagai pihak yang perlu dimunculkan potensinya. Merekapun didampingi untuk mendapat kerja, diberikan konsultan sosial dan berbagai pendekatan yang sangat jarang saya temui di negeri kita.

Oh..ya lupa, saya bisa menjadi relawan sosial di Inggris ini berkat program dari British Council dan VSO (Volunteering Services Overseas) Sebuah pengalaman yang bisa membawa saya melihat sisi lain di balik kehidupan mewah para pesohor sepakbola yang biasa kita nikmati di layar kaca. Sisi lain pula di balik royal wedding milik istana Inggris yang baru lalu....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun