[caption id="attachment_287869" align="aligncenter" width="410" caption="Suasana di Pusat Penambangan"][/caption]
Bertaruh nyawa untuk sebongkah emas. Rasa-rasanya memang pilihan yang pantas. Gunong Ujeun, itu nama tempat yang sangat mahsyur bagi mereka yang mau mencoba peraduan merengkuh bongkahan emas yang nilai rupiahnya luar biasa.
Tulisan ini adalah catatan ketika penulis melakukan perjalanan ke Gunung Ujeun empat tahun yang lalu (2009), saat itu statusnya masih tidak jelas, pertambangan dilakukan secara amat tradisional dan beresiko. Entah bagaimana perkembangan terakhir, mungkin pemerintah telah mencari solusi untuk kebaikan semua.
***
Lokasi penambangan emas yang dilakkan oleh masyarakat ini jaraknya cukup jauh dari Banda Aceh, kita harus menuju ke Aceh Jaya. Untuk mencapai Kota Calang, ibukota Aceh Jaya, kita membutuhkan paling tidak lima jam. Kita masih harus menggunakan rakit yang didesain khusus untuk mengangkut kendaraan, termasuk mobil. Jembatan masih putus. Terutama di Lamno, kota kecamatan di Aceh Jaya.
Dari Calang jalan menuju gampong terakhir sebelum Gunung Ujeun sekitar dua jam perjalanan. Kondisi jalan berlumpur dan pada musim hujan maka jalan tak akan nampak. Mobil-mobil khusus yang didesain untuk menaklukkan medan berat lalu lalang.
Di beberapa titik, kita dengan mudah akan menemui mesin-mesin sederhana yang dibuat untuk memisah antara tanah dan emas, merkuri berceceran kemana-mana.
Medan menuju lokasi di etape terakhir harus dilalui dengan berjalan kaki. Alang kepalang sulitnya medan, perbukitan dengan kemiringan mendekati 60 derajat ditambah dengan kondisi medan yang licin membuat tak ada pilihan selain berhati-hati dan super waspada. Kalau tidak, salah-salah menggelinding pula.
Ketika itu tercatat paling tidak 300 penambang yang hilir mudik di Gunung Ujeun, sungguh sebuah tempat yang hiruk pikuk di hutan yang sejatinya masih cukup perawan. Konon, pada masa konflik di kawasan hutan inilah para pejuang Aceh mengonsolidasi kekuatan. Hutan-hutan inilah tempat mereka berlatih dan mempersiapkan diri.
Usai berjalan sekitar 40 menit, sungguh sebuah pemandangan yang ‘mengesankan’, sehamparan bukit yang sudah berbentuk lapangan bola di sisi atasnya. Tanah merah mengangga, sumur-semur bertebaran di sepanjang arena penambangan.
[caption id="attachment_287873" align="aligncenter" width="363" caption="Salah satu penambang"]
Bukan dengan alat-alat berat mereka melubangi tanah, hanya dengan cangkul, sekop dan alat-alat sederhana saja. Penambang disana begitu beragam, mulai dari remaja tanggung yang belum benar-benar dewasa, sampai kakek tua yang entah berapa usianya. Mereka berlomba dengan waktu, mengejar secercah asa di balik tumpukan tanah.
[caption id="attachment_287871" align="aligncenter" width="408" caption="Lubang hasil galian tambang"]
Mengesankan melihat lubang yang dalamnya hingga belasan meter mereka buat dengan alat yang begitu apa adanya. Kalau mujur, puluhan juta yang akan mereka peroleh, kalau buntung, ya seratus ribu pun tak ada. Semua itu suratan nasib, kata salah satu penambang yang kami temui.
Para penambang menghadapi dua musuh, kondisi alam dan malaria. Bukan sedikit di antara mereka yang tertimbun longsoran tanah, atau terpeleset di kemiringan bukit, di sisi lain, bahaya malaria juga mengancam. Tak lama dari kami kesana, seorang penambang meninggal karena kecelakaan kerja.
Dalam hati aku merasa ada sedikit bahagia,karena rakyat biasa bisa merasakan kekayaan alam di bumi Indonesia. Tapi setelah mengetahui bagaimana pola penambangan dan bagaimana jalur distribusi hasil emas mereka. Saya tersentak, mereka-mereka yang menaruhkan nyawa di Gunung Ujeun hanya meraih sedikit saja dari semua. Para pemilih modal yang memodali mereka menambanglah yang akan menjadi penangguk rupiah terbesar.
Sayangnya lagi, banyak pemilik modal yang datang dari jauh, ada yang dari Jawa bahkan onon dari Kalimantan. Ah, memang selalu beginilah nasib jelata.
Satu hal lagi yang membuatku gelisah ketika itu, penggunaan zat-zat kimia secara bebas, ada resiko jangka panjang yang diterima penambang dan juga masyarakat sekitar. Apalagi sebagian besar berpeluang mengalir ke sungai yang menjadi denyut nadi masyarakat sekitar. Belum lagi kalau berhitug dampak ekologis.
Ah, harga yang dibayar memang tak sedikit. Beginilah elegi di sebuah negeri kaya, yang rakyatnya sekian lama hanya jadi penonton.
[caption id="attachment_287874" align="aligncenter" width="410" caption="Suasana ketika salah satu penambang wafat"]
***
Matahari mulai rebah, langit mulai tampak gelap. Walau lelah, kami harus segera turun dari lokasi tambang kalau tak mau terjebak disana.
Ada sedemikian banyak kegelisahan yang datang. Ini semacam elegi di Gunung Emas, pikirku. Kalau negara tak peduli, maka bencana hanya menunggu waktu saja.
Note : Foto-foto adalah koleksi pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H