Kwitang, sentra buku murah di ibukota pada masanya. Ribuan sarjana lahir dari lapak-lapak sederhana, riuh rendah perjumpaan pedagang dan pembeli melahirkan romantika dan nuansanya tersendiri. Kini, Kwitang bukanlah lagi sentra buku, entitas Kwitang pudar jua ditendang angkuhnya kekuasaan dan makin kerasnya persaingan…
[caption id="attachment_155438" align="aligncenter" width="640" caption="Toko yang masih bertahan, koleksi makin minim/doc@huzera"][/caption]
Siang jelang senja ibukota di penghujung 2001, baru saja kukecap kehidupan sebagai mahasiswa. Kampusku bukan di ibukota tapi nan jauh di kaki Gunung Slamet sana. Tapi kala itu ada kesempatan ke ibukota. Usai kegiatan yang kuikuti, langsung kuarahkan langkah ke arah Pasar Senen, menuju sentra buku murah meriah. Aai, padat sekali rupanya. Suara keras khas pedagang bergemuruh, “Silahkan bang cari buku apa ? tenang aja harga bisa diatur..tanya aja dulu..” Sapaan pedagang model itu lumrah.
Ribuan pembeli dan pedagang berhimpitan di sudut-sudut jalan Kwitang Raya, kios-kios mungil berhimpitan hingga ke gang-gang. Mau buku apa saja, dijamin bisa diraih disana ketika itu. Soal harga, pastinya tergantung negosiasi. Kwitang kala itu bisa disebut sebagai salah satu ikon “intelektual” ibukota. Nuansa keilmuan berbalut keceriaan khas pasar. Dimana kecerdikan penjual dan ketelitian serta kesabaran pembeli bertemu pada sebuah titik bernama tawar-menawar.
Kwitang memberi kesan ilmu pengetahuan itu tak selalu mahal dan mewah. Ia bisa direngkuh di pojok sempit ibukota, ia bisa bertahan di tengah himpitan tirani modal pengusaha buku dan penerbitan besar.
Ingatkah kita film Ada Apa dengan Cinta-AADC (2002), film yang dibintangi Dian Sastro dan Nicholas Saputra itu ikut mengangkat popularitas Kwitang sebagai sentra buku. Kegemaran Rangga (Nicho Saputra) menyambangi Kwitang yang kemudian mendorong Cinta (Dian Sastro) untuk ikut menelisik Kwitang telah memberi nuansa sendiri bagi Kwitang. Bisa jadi ada ratusan kisah asmara nyata yang juga hadir di Kwitang di luar AADC itu.
[caption id="attachment_148100" align="aligncenter" width="650" caption="Lapak tersisa/doc@huzera"][/caption]
Konon, banyak sastrawan dan penulis lawas tanah air yang ikut menjadi “aktivis” di sentra buku Kwitang. Begitupun aktivis 1966 dan 1998 banyak yang menimba ilmu di Kwitang.
Kwitang disadari atau tidak telah menjadi salah satu sumbu dalam sejarah gerakan mahasiswa di tanah air. Di Kwitanglah para aktivis bisa berjumpa dengan buku-buku perlawanan yang tentu saja dilarang beredar ketiak masa orde baru. Pedagang Kwitang selalu punya cara "menyelundupkan" buku-buku terlarang tersebut.
Sentra buku Kwitang yang romantis, dramatis dan sarat kenangan historis itu kini beranjak tua. Saat gurita pusat perbelanjaan ibukota makin luar biasa, Kwitangpun akhirnya hilang. Tak ada lagi riuh rendah di sudut jalan itu..
***
Tiga hari yang lalu, sepuluh tahun dari waktu pertama kali aku mengunjungi Kwitang. Di siang jelang senja ibukota tak lagi kutemukan riuh rendah tawar menawar disana, tak pula kudapati lapak yang berjajar memadati sudut-sudut jalan. Sentra buku Kwitang telah tiada. Romantika dan sejarah terbang seiring perginya para pedagang.
Atas nama ketertiban, kenyamanan dan keindahan kota, 2008 lalu pemerintah DKI merelokasi pedagang-pedagang buku di Kwitang. “Gimana mau bertahan bang, tiap hari dipaksa pindah, malah kadang-kadang tramtib marah-marah” itulah jawaban Bang Leo, ketika kutanya mengapa mereka tak bertahan kala itu.
Bang Leo, satu diantara sedikit pedagang yang bertahan di Kwitang sampai detik ini. Meski jumlah pedagang mungkin tak ada 15 orang lagi dan pengunjungpun sudah jauh berkurang, tapi bagi mereka Kwitang tak boleh seratus persen mati. Karena Bang Leo dan kawan-kawanlah kita masih bisa menatap lapak-lapak buku masih ada di Kwitang sampai detik ini, meski jumlah mungkin tak sampai dua persen dari jumlah lapak ketika masa jayanya Kwitang.
Pedagang-pedagang sudah direlokasi ke JaCC, Blok M Square dan Proyek Senen, begitu informasi yang kudapat dari pedagang yang tersisa di Kwitang. “Dian Sastro udah gak kemari lagi bang..” teriak seorang pedagang ketika aku menanyakan apakah dulu banyak orang terkenal yang suka ke Kwitang. Ah, ternyata Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Damono dan ratusan tokoh lainnya kerap menyambangi Kwitang pada masanya termasuk Dian Sastro, bukan untuk syuting film, tapi untuk belanja. Kini semua hilang.
[caption id="attachment_148102" align="aligncenter" width="650" caption="Buku pajangan dengan latar rak yang makin kosong/doc@huzera"][/caption]
***
Jogja dengan Shoping Centrenya, Bandung dengan Palasari dan Jakarta dengan Kwitangnya adalah sentra-sentra buku yang banyak melahirkan tokoh dan pejuang di negeri ini. Tapi entitas-entitas itu kian hilang ditelan gemerlapnya kota. Belanja buku telah menjadi rekreasi baru bagi masyarakat modern kota. Mencari buku di ruang-ruang berpendingin dengan pelayanan kelas satu dan kemewahannya telah ikut melenyepkan Kwitang, Shoping dan Palasari sebagai sentra buku. Ditambah lagi negara tak pernah berpihak pada ikon-ikon “pinggiran” macam Kwitang. Jadilah negara dan kekuatan modal membobol habis benteng terakhir Kwitang, yaitu kebersamaan pedagang.
Bermodal janji, pedagang-pedagang dipecah, ada yang diimingi lokasi strategis di mall-mall, ada yang diajak menjadi pengurus di asosiasi buatan pengusaha dan sebagainya-sebagainya. Kwitangpun luluh…
Cepat dan pasti, Kwitangpun telah menjadi memori. ABG hari ini dan masa mendatang tak akan lagi mengenal romansa Kwitang…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H