Awal tahun 2014, diramal akan menjadi tahun panas. Apalagi kalau bukan urusan kursi. Ya, arena politik nasional akan penuh sorak sorai, dan derai tangis di kubu yang bukan pemenang. Ternyata bukan hanya panggung politik. Dunia sastra tanah air di awal Januari, mendadak riuh. Apa pasal ?
33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh Se-abad belakangan. Tentu ini perkara bukan main-main. Ini perkara sejarah bangsa. Ini masalah catatan perjalanan dunia sastra nusantara. Bahkan jauh sebelum Indonesia eksis sebagai sebuah entitas nagara-bangsa.
Apalagi hal besar dalam rana kebudayaan nusantara ini melibatkan Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin. Tak tahu persis konteks keterlibatan pusat dokumentasi ini sekedar sebagai ruang, dalam makna sesungguhnya. Tempat tim 8 melakukan rapat-rapat atau tempat tim 8 memproklamirkan 33 Tokoh Sastra. Atau Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, terlibat aktif dalam prosesnya, atau karena 8 orang anggota tim 8 itu adalah penggiat di Pusat Dokumentasi Sastra tersebut. Kita tak tahu pasti ? Termasuk kita tak tahu apakah Almarhum HB Jassin rela namanya ikut dilekatkkan dengan momen besar ini ?
Tim 8, siapakah mereka ? Jamal D. Rahman (Ketua), Acep Zamzam Noor, Agus R. Sarjono, Ahmad Gaus, Berthold Damshäuser, Joni Ariadinata, Maman S. Mahayana, dan Nenden Lilis Aisyah. Bagiku yang awam dengan sastra, nama mereka sayup-sayup saja terdengar. Tapi, tentulah itu karena aku yang kurang pengetahuan dan cetek pengalaman.
Tapi kalau Jamal D. Rahman dan Nenden Lilis Aisyah aku kenal. Karena Pak Jamal itu yang menjadi editor untuk kumpulan puisi esai 6 penyair. Kebetulan nyempil salah satu karya saya “Jangan Panggil Kami Kubu !”. Nah, Ibu Nenden itu yang memberi pengantar untuk buku tersebut. Kritiknya bernas dan membuat aku paham sisi lemah tulisanku. Selebihnya yang bisa bilang kukenal karyanya ya Joni Ariadinata, “Kastil Angin Menderu” kumpulan puisi beliau pernah mampir di rak buku di masa kuliah dulu. Selebihnya akrab dengan namanya tapi aku tak sampai membaca karya sastra mereka. Apalagi sama satu orang asing Berthold Damhauser.
Pertanyaan sederhanaku, siapa yang memilih tim 8 ini ? Ini bukan pertanyaan retoris, Tapi aku benar-benar tak tahu. Kalau ada yang tahu, silakan memberi penjelasan.
Pada tahap selanjutnya, apakah publik, termasuk orang yang awam sastra seperti penulis tapi senang sesekali membaca karya sastra dilibatkan menentukan tokoh sastra paling berpengaruh ini ? Atau hanya hak prerogatif tim 8 saja ? Oh ya ada pertanyaan satu lagi yang sederhana saja, apakah tim 8 ini bekerja secara sukarela atau bagaimana ? Mohon pencerahan pula.
Kalau bicara konteks pengaruh, paling tidak ada 3 unsur didalamnya; Apa, siapa dan sejauh mana. Apa ? ya bolehlah disebut puisi esai yang dicetus Denny JA sebagai apa. Lalu siapa yang dipengaruhi ? Apakah orang-orang yang menulis puisi esai yang jumlahnya mungkin belum 1000 itu ? Sejauh mana pengaruh tersebut ? Orang menulis puisi esai karena kesadaran yang sifatnya personal, atau ada hal lain. Lomba menulis atau bayaran misalnya? Ini juga aspek yang harus dilihat dalam konteks pengaruh.
Mengapa saya bicara hal tersebut. Paling tidak sebagai salah satu penulis yang nyempil menjadi pemenang hiburan (12 puisi menarik), merasakan hal itu. Saya menulis puisi dalam bentuk puisi esai, karena saya mengincar hadiah yang diberikan penyelenggara. Saya memilih gaya puisi esai bukan karena saya merasa gaya tersebut cocok untuk menyampaikan hasrat saya bersyair. Bukan ! Atau karena saya terpengaruh karya-karya Denny JA, membaca bukunya saja saya belum.
Maka claim tim 8 yang salah satunya “..Sudah terbit 10 buku puisi esai yang ditulis oleh lebih 30 penyair dari Aceh hingga Papua..” untuk melegitimasi pengaruh puisi esai Pak Denny JA, paling tidak gugur. Ya paling tidak berkurang satu itu jumlah penyairnya.
Banyak lagi hal-hal yang bisa diperdebatkan tentnag hal ini. Tapi sudahlah, toh ak hana orang awam sastra. Yang tak terlalu paham apa itu makna “Pengaruh”.
Tapi paling tidak aku ingin mengembalikan uang 500 ribu yang dulu diberikan Denny JA, lewat penyelengara kompetisi menulis esai 2012 kepadaku. Sesaat sebelum menulsi tulisan ini, aku mengirim email ke Jamal D Rahman lewat email jurnal sajak. (karena hanya akun email ini yang aku tahu) meminta nomor rekening penyelengara untuk mengembalikan uang hadiah. Sebagai bentuk penolakan atas terpilihnya Denny JA sebagai 33 tokoh sastra paling berpengaruh.
Mungkin bagi sebagian kawan-kawan ini lebay, 500 rebu doang. Cari sensasi ! Mungkin itu yang terlintas bagi banyak orang. Silahkan saja berpikir secara bebas. Tapi entah mengapa kalau tak mengembalikan uang tersebut, aku merasa berdosa pada Kuntowijoyo, Umar Kayam, Sindhunata atau Seno Gumira Ajidarma yang karya-karyanya menjadi semacam “azimat” bagiku dalam belajar menulis sastra. Mereka berempat jauh lebih berpengaruh bagi hidupku tinimbang puisi esai Denny JA yang sampai detik ini belum pernah kubaca bukunya.
Note : Meski saya menolak Denny JA sebagai 33 tokoh sastra paling berpengaruh,tapi saya menolah gerakan memboikot buku “33 Sastra Paling Berpengaruh” apalagi sampai membakar buku tersebut. Apapun alasannya....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H