Mohon tunggu...
Huzer Apriansyah
Huzer Apriansyah Mohon Tunggu... Lainnya - Pada suatu hari yang tak biasa

Belajar Menulis Disini

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Belajar Mengelolah Perbedaan dari Orang Rimba

27 Desember 2013   20:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:25 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penulis bersama anak-anak Orang Rimba/Foto : Heriyadi

[caption id="" align="aligncenter" width="599" caption="Penulis bersama anak-anak Orang Rimba/Foto : Heriyadi "][/caption]

Tersebutlah sebuah kisah, sebuah negeri yang rakyatnya rukun, makmur dan tak pernah berbeda pendapat. Mereka selalu bersepakat, kalaulah ada kemungkinan perbedaan pendapat dalam suatu hal; misal saja dimana upacara sebaiknya dilakukan, atau dimana sebuah pasar sebaiknya dibangun maka seorang bijak akan menguncang dadu. Keputusan terakhir ada di ujung mata dadu.

Semua tak perlu beradu cakap apalagi sampai harus tegang urat leher, tak perlu berlelah-lelah mengadu pikiran tentang sebuah masalah. Negeri tanpa perbedaan pendapat itu terus berjaya, tak ada silang pendapat yang berlebihan, semua terjaga. Tapi dalam hati, rakyat merasa jengah, bosan dan lelah selalu berada dalam keteraturan.

Sepintas saja pikiran itu ada dalam benakku, ya, pikiran tentang Negeri tanpa perbedaan pendapat, negeri yang harmonis dalam sebuah kebahagiaan. Kupikirkan tentang negeri itu sebagai sebuah setting untuk cerita pendek. Ah, alang kepalang sulitnya, memikirkannya saja sudah membuatku gelisah dan merana, apalagi benar-benar berada dalam sebuah negeri yang demikian itu.

***

Lain negeri di atas lain pula di Orang Rimba. Perdebatan sengit, perang pendapat adalah rutinitas. Berbicara mereka keras, argumentasi mereka pedas dan sulit untuk tak saling berbalas pendapat. Tapi herannya tak pernah ada huru hara yang ganas sesama mereka.

Hebat sekali Orang Rimba ini pikirku, bisa berdebat sengit berhari-hari tapi seperti tak ada dendam saja, besok sudah kembali bercakap biasa. Karena penasaran, aku akhirnya mengikuti sidang adat mereka.

Sidang adat dalam Orang Rimba adalah mekanisme untuk menyelesaikan perkara internal mereka. Biasanya sidang adat ini menyidang masalah-masalah cempalo (tabu), perselisihan paham, dan hal-hal yang bersifat relasi sosial antar mereka serta pelanggaran terhadap larangan-larangan adat.

***

Langit memerah mulai pudar, matahari kian redup, kelompok demi kelompok Orang Rimba mulai mendatangi lokasi sidang adat. Dua kelompok besar yang berbeda pendapat menempati posisi masing-masing yang dipisahkan oleh aliran sungai. Sidang belum dapat dimulai karena para penghulu belum datang. Rencananya Temenggung dan Mangku akan datang untuk menjadi penengah dalam sidang adat kali ini.

Bagi Orang Rimba di Rombong Kedundung Muda, Taman Nasional Bukit Dua Belas Jambi ini keberadaan penghulu sebagai pemangku adat masih sangat dihormati.

[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Mangku Basemen, salah satu Penghulu Orang Rimba/Heriyadi"]

Mangku Basemen, salah satu Penghulu Orang Rimba/Heriyadi
Mangku Basemen, salah satu Penghulu Orang Rimba/Heriyadi
[/caption]

Seiring malam yang kian meninggi, sebagian kelompok mulai menghidupkan api, sidang pun dimulai. Jangan bayangkan sidang berlangsung formal dan kaku seperti yang biasa terjadi di arena sidang hukum positif kita. Di satu sisi ada induk-induk yang menidurkan anaknya dengan nembang (bernyanyi), ada lelapay (anak-anak gadis) yang menanak air, ada bebudak (anak-anak) yang saling bertengkar. Pokoknya gaduh dan tak terkendali.

Di seberang sungai kelompok yang satu sibuk mengemukakan argumentasi mengapa kelompok yang lain bersalah. Begitupun sebaliknya, semua saling menyerang.

Setelah puas kedua belah pihak beradu pendapat, sesekali Temenggung atau Mangku akan melerai, biasanya mereka akan menyampaikan seluko (pepatah yang punya implikasi adat), salah satu yang kuingat saat itu “Mencabut kayu sebetong beringgut rimba sekampung” (Mencabut kayu sebatang bergerak hutan yang luas). Begitulah seterusnya, akan ada puluhan seluko yang silih berganti mereka sampaikan.

Suasana memang serasa tegang, karena ada yang berteriak keras, ada yang seolah ingin mengajak berkelahi dan berbagai ekspresi permusuhan antar mereka.

Sidang adat ini bisa berlangsung bermalam-malam, semua serba tak beraturan. Siapa yang bersuara lantang maka ia akan didengar, siapa yang punya kemampuan memahami bilangan adat, maka ia akan berjaya. Sungguh sebuah pengalaman yang luar biasa, dua malam berturut-turut mengikuti sidang adat Orang Rimba membuatku kepayahan juga.

Semua perdebatan berlangsung lama dan argumentasi cenderung berulang. Satu-satunya yang membuat sidang selesai adalah kelelahan dari para anggota sidang adat. Pada titik itulah biasanya temenggung akan mengambil keputusan. Maka, jika keputusan telah diambil semua harus mematuhi. Oleh karena itu bagi Orang Rimba seorang penghulu haruslah orang yang cerdas, paham akan adat secara mendalam, berwawasan luas dan bijak.

Setelah keputusan diambil tak ada lagi perdebatan, pihak terhukum harus membayar denda adat, berupa kain. Pihak lain tak boleh lagi mengungkit aib yang tercetus selama proses sidang adat. Semua yang muncul dalam sidang harus putus setelah ada keputusan, tak boleh ada perbincangan di belakang hari.

Bagi siapa yang mengungkit lagi hal-hal yang telah dibahas dalam sidang, layak untuk didenda adat. Karena mengungkit kembali sama dengan mempermalukan pihak yang sudah bersidang.

***

Ada beberapa hal yang menjadi pembelajaran bagiku terkait bagaimana menyikapi perbedaan pendapat dari bagaimana Orang Rimba mengelolah perbedaan pendapat antara mereka ;

Luapkan Semua Argumentasi

Setiap pihak yang berselisih pendapat harus mengungkapkan semua basis argumentasinya. Tak peduli apa respon pihak lain, semua harus terkeluarkan terlebih dahulu. Penonton (pihak yang tak langsung terlibat) harus memberi kesempatan secara adil pada pihak yang berbeda pendapat. Mungkin dalam konsepsi masyarakat modern, hal ini terkait dengan keseimbangan pemberitaan, keseimbangan ruang dan waktu untuk mengajukan argumentasi serta kesempatan yang sama untuk didengarkan atau dalam istilah hukum bisa jadi inilah konsep persamaan di muka hukum.

Orang Rimba dalam tata kelola perselisihan telah menerapkan ini, setiap pihak boleh berpendapat sepanjang apapun yang ia mau. Terluapkannya semua argumentasi ini tentu juga akan berjalan seiring dengan terluapkannya emosi. Semakin meluapnya emosi, maka secara alamiah juga akan membangun keseimbangan emosi. Pada titik tertentu emosi kedua pihak yang berbeda pendapat akan mencapai titik keseimbangan.

Mekanisme pelepasan emosi melalui peluapan argumentasi ini menjadi sarana alamiah manusia untuk mencapai kondisi “Netral”.

Daya Terima Atas Keputusan

Satu hal yang menarik dari Orang Rimba dalam mengelolah perbedaan pendapat adalah daya terima mereka atas keputusan. Meski memiliki argumentasi yang kuat dan meyakinkan jika penghulu sudah memutuskan, maka semua akan menerima.

Hal ini yang sulit kita duplikasi dalam kehidupan manusia modern. Perdebatan dan perbedaan pendapat berlangsung terlalu spartan dan cenderung tanpa penengah. Orang yang dianggap bijak dan bisa untuk menjadi penyelaras akhir sebuah perdebatan cenderung sudah tidak ada. Perdebatan pada akhirnya sekedar menjadi ruang bagi ego. Kehilangan substansinya untuk mendekati kebenaran.

Orang Rimba pada titik ini lebih unggul dalam melihat keterbatasan manusia. Maka mereka dengan segala kelemahan penghulu, tetaplah harus ada orang yang menjadi penyelaras akhir sebuah perdebatan. Dalam masyarakat modern ini setara dengan hakim di pengadilan.

Daya terima atas keputusan juga tercermin dari tidak adanya lagi perbincangan tentang hal tersebut setelah hari sidang. Orang Rimba tabu membicarakan lagi materi sidang yang sudah berlangsung. Semua dianggap putuy (putus) manakala keputusan sudah ada. Berbeda dengan kita yang cenderung selalu ngedumel jika pendapat kita tidak diterima.

Perdebatan Bersifat Sementara

Dalam ruang hidup yang relatif terbatas, maka Orang Rimba menyadari betul tak ada permusuhan abadi. Mereka saling membutuhkan satu sama lain. Maka, sehebat apapun permusuhan sesama mereka, tetaplah pada akhirnya mereka bersaudara, besanak.

Hal ini yang layak kita replikasi, sehebat apapun berdebat dan berbeda pendapat tetaplah sebagai human being kita ini saling membutuhkan dan tak perlu sampai bermusuhan abadi.

Pengedalian Emosi Diri

Dalam suasana sidang adat yang begitu hiruk pikuk dan chaos, Orang Rimba memiliki daya pengendalian diri yang luar biasa. Tak boleh sampai menyerang secara fisik, karena ini justru membuatnya akan akan kalah dalam sidang, meskipun pada awalnya posisinya benar.

Pengendalian emosi ini menjadi kunci bagi Orang Rimba, mereka pun cenderung menunggu lawan untuk menyerang (pembicaraan), tidak memulai cenderung menunggu. Semakin kuat seseorang mengendalikan emosinya, maka akan semakin dihormati dalam kelompok.

Ini adalah dimensi menarik dari Orang Rimba, dimana pengendalian emosi mendapat semacam tempat tersendiri. Kita dalam masyarakat modern cenderung abai akan kemampuan pengendalian emosi ini. Saksikan saja perdebatan di televisi menjadi semacam ajang adu ego dan emosi saja. Jalanan juga dipenuhi dengan keributan yang tak ada maknanya.

***

Akhirnya, perbedaan dalam berpendapat adalah alamiah, manusia dalam berbagai tingkatan kebudayaan secara alamiah memang selalu saling berbeda. Namun, apa yang aku lihat dari Orang Rimba adalah sebuah dimensi baru dalam mengelolah perbedaan pendapat. Dimana kondisi chaos adalah sebuah cara alamiah untuk menetralisir emosi pihak yang berbeda pendapat, kemudian mereka akan sampai pada keseimbangan emosi, pada titik itulah akan ada titik untuk mencapai persamaan.

Selanjutnya daya terima atas keputusan atau kesepakatan adalah bagian dari bentuk menghargai pihak lain yang berbeda pendapat. Ah, kadang belajar tak harus rumit-rumit, ada hal-hal sederhana yang selalu kudapat dari Orang Rimba dibalik kesederhaannya.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun